Jaringan Ulama Timur Tengah, India, dan Indonesia dan Kaitannya dengan Syatariyah di Pamijahan Abad ke-17 dalam Mengkompromikan Ajaran Wahdatul Wujud Ibnu Arabi

Berbicara tentang Sejarah Islam di Indonesia, tidak lepas dari warna lokal daerah yang dipengaruhi oleh kebudayaan dan agama sebelumnya, juga kebudayaan dari bangsa pembawa Islam yang juga dipengaruhi oleh agama yang dianut sebelumnya, serta periode masuknya ke daerah-daerah tertentu yang berbeda jiwa zaman “bentuk ajaran” para ulama dan rajanya. Semuanya menunjukkan kompleksnya sekaligus keunikan Islam Indonesia sebagai mayoritas agama di antara ragam agama di Indonesia.

Sejak tahun 2007, saya mulai menggemari khazanah Ibnu Arabi, mulai dari perihal syariat hingga hakikatnya. Pada tahun 2015, saya mengetahui keterhubungan erat antara Ibnu Arabi (1165 – 1240 M) sebagai guru sufi dengan Ertugrul (1188 – 1281 M) dan ayahnya. Ibnu Arabi adalah pendamping perjuangan mereka dengan pelbagai petunjuk dan nasihat sebagai cikal bakal pembentukan Turki Utsmani oleh Utsman, anaknya Ertugrul. Dari Sevilla pada tahun 1200 M, singgah ke Mekah dan bertemu dengan Majd al-Din, ayah anak angkatnya, Sadr al-Din Qunawi. Sadr al-Din Wunawi adalah pendiri sekolah Akbarian Teaching yang melahirkan banyak sufi yang berkontribusi di pelbagai bidang, seperti pemerintahan, politik, pendidikan, dan keilmuwan di dalam Turki Utsmani. Terhenyak, bahwa di belakang negara sekuat itu, terdapat dukungan besar para sufi yang notabenenya memiliki tujuan ingin mendekatkan diri kepada Allah melalui usaha terus-menerus dalam mengokohkan ad-Diin (iman, islam, ihsan).

Pun di Indonesia. A. H. Johns menyatakan bahwa para sufi terlibat langsung dalam proses penyebaran Islam di Indonesia dengan keunikan ajarannya. Hal ini dinilai mampu memfasilitasi penyerapan komunitas non-muslim ke dalam ikatan Islam sejak dalam jaringan internasional hingga ke tingkat lokal. Para Sufi memiliki kaitan sifat mistik agama pra-Islam yang memiliki kesamaan dalam hal tertentu.

Pada akhir 2015, saya membaca buku berjudul “Wujudiyah di Nusantara, Kontinuitas dan Perubahan” karya Miftah Arifin dan buku “Ithaf al-Dhaki, Tafsir Wahdatul Wujud badi Muslim Nusantara” karya Omar Fathurahman. Saya dikejutkan oleh fakta bahwa ajaran Ibnu Arabi memberikan pengaruh besar dalam corak Islam yang ada di Indonesia pada abad ke-16. Pengaruh tersebut bisa disebabkan oleh dukungan sebagian ulama terhadap konsep wahdatul wujud sehingga meneruskan ajarannya, ada juga yang kontra karena dipandang takut menyesatkan masyarakat awam yang tidak paham, serta ada juga yang terletak di antara pro dan kontra sehingga berusaha menjembatani antara keduanya ke dalam bentuk yang bisa lebih dipahami oleh masyarakat.

Sebenarnya, Ibnu Arabi tidak pernah menyebutkan kata atau istilah “wahdatul wujud” di dalam tulisannya yang berjumlah lebih dari 300-350 karya, walaupun pada hakikatnya sama. Terkadang, dikarenakan banyak orang yang hanya membaca dan mengenal sekilas bukunya, terutama terkait wahdatul wujud ––yang bila disalahpahami bisa dianggap wujud Tuhan menyatu dengan makhluk (pantheisme)–– sehingga Ibnu Arabi dianggap sesat. Saya menemukan banyak tulisan Ibnu Arabi tentang syariat yang tidak terlepas dari mengupas sisi hakikatnya juga.

Khazanah Ibnu Arabi, sebagai wali quthb penutup kewalian Muhammad saw, bagaikan buku induk yang menjadi referensi besar bagi para ulama setelahnya. Khazanah tersebut tidak mudah dipahami karena membutuhkan keihsanan ketika membacanya, sementara sebagian besar manusia didapati tidak demikian. Hal itulah yang menjadi salah satu pertimbangan bagi beberapa ulama untuk menerima, menolak, atau memodifikasi ajarannya ke dalam pilar-pilar agama Islam di masyarakat.

Mengulik Sejarah Islam Sunda, pada awalnya tidak pernah terpikirkan tentang kaitannya dengan ajaran Ibnu Arabi. Namun, itulah yang ingin saya cermati setelah secara tidak sengaja membaca keterkaitan ajaran Ibnu Arabi dengan para sufi yang terhubung dengan jaringan islam internasional dan nusantara hingga Sunda. Kaitan ajarannya tersebut utamanya terjadi dalam tarekat Syattariyah yang berasal dari India. Syattariyah tersebar luas di Indonesia, seperti Aceh, Minangkabau, hingga Tasikmalaya, khususnya di Pamijahan dengan Abdul Muhyi sebagai tokoh pembawanya.

Tentunya, keterkaitan ajaran ini memberikan corak ruhani masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana kutipan P. J. Zoetmulder (1965: 327) dari pernyataan Christopher Dawson, “Religion is the key of history. We cannot understand the inner form of a society unless we understand religion. We cannot understand its cultural achievements unless we understand the religious beliefs that lie behind them. In all ages the first creative works of a cultural are due to areligious inspiration and dedicated to a religious end.”

Mengapa, bagaimana, dari mana, siapa, dan kapan persisnya Tarekat Syattariyah muncul di Indonesia, terutama di tataran Sunda, akan dibahas dalam tulisan ini. Pendekatan keilmuan yang digunakan untuk penulisan sejarah Islam di Sunda terkait Tarekat Syattariyah yang dikembangkan oleh Abdul Muhyi di Pamijahan, mencakup ilmu sejarah, filologi, antropologi, arkeologi, dan tashawuf dengan menggunakan sumber-sumber sekunder berupa buku, tesis, maupun disertasi.

Penyebaran Islam di Nusantara

Usaha untuk mengislamkan Indonesia tampak seperti tidak mudah. Karena, akar kebudayaan agama hindu India terjelma dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya selama ratusan tahun lamanya sejak awal masehi. Namun, kurang dari tiga abad, Islam mampu melakukan konversi, adhesi, ataupun adaptasi terhadap kebudayaan dan ajaran agama yang ada. Seolah-olah, dewa hindu-budha terislamisasikan menjadi Muslim.

Dari semua teori tentang penyebaran Islam di Nusantara, tesis A. H. Johns memberikan fakta paling kuat bahwa sufi pengembara sebagai penyebar Islam utama di Nusantara sejak abad ke-13. Para sufi memiliki kemampuan untuk mengkompromikan atau memadukan Islam dengan praktek keagamaan masyarakat daripada mengubah kepercayaan lokal secara total. Istilah dan unsur kebudayaan pra-islam digunakan untuk menjelaskan Islam.

Pada periode yang sama, hal tersebut pun terjadi di Turki yang dilakukan oleh Ibnu Arabi dan banyak sufi lainnya. Mereka aktif dalam pemerintahan, organisasi militer (yenicheri), dan aneka profesi lainnya di Anak Benua India. Sekitar abad tersebut, Mongol melancarkan serangan ke banyak negeri Muslim lainnya, seperti Arab, Persia, India, dan Turki, bahkan hingga jatuhnya Baghdad (1258 M). Para kaum sufi membantu memelihara negeri Muslim dengan mengaktifkan diri secara bertahap untuk membangun institusi yang stabil dan menjalin hubungan aktif dengan kelompok dagang dan kerajinan tangan, baik yang beragama Islam maupun non-Islam. Hal ini dalam rangka turut membentuk pilar-pilar keagamaan masyarakat.

Jaringan Ulama Haramayn Abad 17

Haramayn, digunakan untuk menyebutkan “dua Mekah”, yaitu Mekah dan Madinah. Kedua kota tersebut lekat dengan umat Islam karena Rasulullah Muhammad saw diturunkan di kota Mekah dan membangun masyarakat Muslim di kota Madinah. Mekah juga menjadi kota penting bagi umat Islam hingga sekarang lantaran keberadaan Baitullah sebagai arah kiblat shalat dan tempat ibadah haji sejak zaman Nabi Ibrahim as. Selanjutnya, kedua kota tersebut berkembang menjadi pusat keilmuwan para intelektual Muslim, seperti ulama, sufi, filsuf, penyair, pengusaha, dan sejarawan dari pelbagai bangsa, termasuk India dan Indonesia.

Pada abad ke-16 dan ke-17 M, bermunculan banyak ribath atau zawiyah di Haramayn. Zawiyah merupakan tempat para sufi untuk melakukan praktik kesufian dan juga proses keilmuwannya. Secara perlahan, sejak masa Seljuk pada abad ke-11, madrasah dan ribath diatur ke dalam madzhab sunni dengan melarang pembentukan lembaga sufi di luar mazhab sunni. Jelang abad ke-15, keberadaan ribath atau zawiyah semakin kokoh berada dalam jalur sunni.

Pada abad ke-17 di Indonesia, tashawuf sedang berkembang pesat di Sumatra Utara dengan pengaruh ajaran Ibnu Arabi yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri. Beliau mendapatkan penolakan keras dari Nur al-Din al-Raniri yang mengharuskan dibunuhnya mereka yang mengikuti ajaran wahdatul wujud. Efek penolakannya terasa hingga di Haramayn, sehingga menghasilkan pelbagai tulisan yang menjelaskan tafsir dari wahdatul wujud yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam.

Sebenarnya, jika Nur al-Din al-Raniri paham menyeluruh, seperti tentang penciptaan wujud, maka dia akan menerima ajaran wahdatul wujud Ibnu Arabi. Namun, kekurangpahaman dan penolakan sengitnya membuat penolakannya tersebut menjadi urusan publik yang melibatkan elit politik Kerajaan Aceh. Maka Muhammad Ibnu Fadlullah al-Burhanpuri, sahabat dari al-Qushashi, menjelaskan kembali ajaran wahdatul wujud Ibnu Arabi di dalam kitab Al-Tuhfah Al-Mursalah. Hal ini ternyata semakin membuat bingung, sehingga cukup membuat Al-Kurani menulis kitab Ithaf Al-Dhaki.

Di dalam kitab tersebut, al-Kurani memberikan penjelasan yang lebih tepat dan detail tentang ajaran Ibnu Arabi dan posisinya di dalam Al-Quran, hadits nabi, dan teologi para filsuf. Kitab tersebut sekaligus menjadi koreksi atas kesalahpahaman penafsiran ajaran tashawuf Ibnu Arabi dengan penerjemahannya sebagai tashawuf yang heterodoks, pantheis, dan mengesampingkan aspek syariat, terutama yang diakibatkan oleh kesalahpahaman dalam al-Tuhfah Al-Mursalah.

Asal Usul Tarekat Syattariyah di Pamijahan

Jeddah mulai menjadi pelabuhan bereputasi internasional ketika berkuasanya Dinasti Mamluk (1250 – 1517 M). Sedari tertutupnya Jeddah dari masuknya orang asing pada abad ke-12 – 13 M, maka semakin banyak orang datang untuk beribadah haji, melakukan kegiatan intelektual, berdagang, dan aktivitas lainnya. Pada abad ke-16 M, Muslim Indonesia-Melayu pun semakin banyak yang melakukan hubungan politik dan perdagangan dengan sesama area Nusantara dan Timur Tengah. Hal tersebut meningkatkan intensitas kunjungan masyarakat Muslim Nusantara ke Haramayn.

Sayid Shibghat Allaah bin Ruuh Allaah Jamaal al-Barwaajii (w. di Madinah pada 1606 M) lahir di India dari orang tua berkebangsaan Persia. Beliau bergurukan salah seorang syekh Tarekat Syattariyah, Wajiih al-Diin al-Gujaratii (w. 1589 M) yang tinggal di Ahmadabad. Wajiih al-Diin al-Gujaratii bukan pendiri Tarekat Syattariyah. Pendirinya tidak begitu jelas dan diperdebatkan, tetapi diduga kuat memang didirikan di India pada abad ke-15. Dikenal juga sebagai Tarekat Isyqiyah di Iran, dan Tarekat Bisthamiyah di Turki. Kedua nama tersebut berasal dari nama Abu Yazid al-Isyqi. Pengikutnya mengaku berasal dari keturunan Syihab al-Din Suhrawardi yang bernama Abdullah Al-Syattar yang sepeninggalnya diteruskan oleh para muridnya ke pelbagai wilayah Islam. Wajiih al-Diin al-Gujaratii merupakan murid dari Muhammad Ghaus (w. 1562 M), seorang yang paling berperan dalam pembentukan tradisi Taraket Syattariyah. Melalui kedua murid dari Wajiih al-Diin al-Gujaratii, yaitu Muhammad ibn Fadlullah Al-Burhanpuri dan Shibghat Allah, Tarekat Syattariyah dibawa keluar India.

Setelah beberapa tahun Shibghat Allah memberikan pengajaran Tarekat Syattariyah di India, dia berkunjung ke Mekah untuk beribadah haji pada tahun 1591 M. Beliau kembali lagi ke Haramayn pada musim haji pada tahun 1596 M atas arahan Sultan Ibrahim Adil Syah, raja Bijapur, sebuah pusat sufi di India yang menjadi tempat tinggalnya setelah sebelumnya lama hidup berpindah-pindah di India. Di Haramayn, Shibghat Allah mengajar di Mesjid Nabawi dan ribathnya ssendiri. Beliau juga menulis beberapa karya tentang tashawuf, ilmu kalam, dan penjelasan tentang Tafsir al-Baydhaawii.

Salah seorang muridnya adalah Ahmad Al-Qusyasyii (1567 M) yang berasal dari Palestina. Beliau kemudian menjadi guru Al-Kurani (Madinah, 1670-1733 M), seorang Kurdi yang diberi gelar mujaddid (pembaharu) Islam abad ke-17 M. Hal ini dikarenakan dia adalah syekh al-Islaam dan guru keilmuwan yang merupakan bukti kesufian dan pembangkit tradisi mistis sunni, juga penyebar seni studi hadits, periwayatan hadits dan isnad-nya.

Al-Kurani pernah bermimpi bertemu dengan Abdul Qadir Jaylani. Dia mengikuti Abdul Qadir Jaylani yang sedang berjalan menuju arah barat, hingga tiba di Damaskus. Selama empat tahun di Damaskus, dia semakin tertarik dengan tashawuf, terutama ajaran Ibnu Arabi (1165-1240 M). Selain kitab al-Suyuthi dan al-Ghazali, Al-Kurani juga mempergunakan kitab yang ditulis oleh Ibnu Arabi untuk mengajarkan hadits, fiqh, tafsir, dan tashawuf di Mekah dan Madinah. Kemudian, Al-Kurani memiliki murid bernama Abdur Rauf al-Sinkili (1615-1693 M). Al-Sinkili pun menjadi guru Abdul Muhyi, sufi pembawa ajaran Tarekat Syattariyah ke Pamijahan, Tasikmalaya.

Para tokoh di atas sangat kuat berpegang teguh kepada ajaran Ibnu Arabi dan membuat konsep wahdatul wujudnya mampu dipahami masyarakat, sehingga bisa diterima dengan baik. Memang, Tarekat Syattariyah dikenal sebagai pembela konsep wahdatul wujud Ibnu Arabi. Bahkan, Ahmad Al-Qusyaysi, Ibrahim Al-Kurani, dan Muhammad bin Abd Al-Rasul Al-Birzinji pernah terlibat perdebatan yang sengit dengan Ahmad Sirhindi (1564-1624 M) yang membuat tesis penolakan ajaran wahdatul wujud-nya Ibnu Arabi.

Tarekat Syattariyah di Pamijahan-Tasikmalaya

Pamijahan berasal dari kata Mijah dalam bahasa sunda yang berarti tempat ikan bertelur. Hal ini mengandung filosofi menarik, karena ikan yang bertelur dan menetas dapat menghadirkan generasi baru yang diharapkan meneruskan dan mewarisi sifat induk dan leluhurnya guna melanjutkan cita-cita mereka.

Salah satu sumber bukti bahwa Abdul Muhyi adalah penganut tarekat Syattariyah adalah kitab Syekh Nursada dari Sumedang Kulon yang ditulis pada tahun 1825. Syekh Nursada merupakan murid kelima Abdul Muhyi, yang mendapatkan keilmuwan dari Sunan Gunung Jati. Jika disebutkan bahwa gurunya adalah Abdul Muhyi, maka pengajaran Abdul Muhyi pun bersumber dari Sunan Gunung Jati.

Penelusuran lebih jauh, Al-Qushashi adalah guru dari Abdur Rauf Sinkili, dan Sinkili adalah guru Abdul Muhyi. Al-Qushashi adalah anak dari Ahmad ibn Al-Qaras Al-Sanawi. Ahmad ibn al-Qaras al-Sanawi mengajari Alam Al-Rabbani, yang mengajari Hatib Qabat al-Islam, yang mengajari Abdul Waqab, yang mengajari Imam Tarbiyi, yang mengajari Abdullah bin Abdul Qahhar, yang mengajari Tuan Haji Muhammad Mu’tasin, yang mengajar Imam Qadir Iman Hidayat bin Yahya, yang mengajari Muhammad Arifudin, yang mengajari Raden Muhammad Nur Allah Habib al-Din yang merupakan seorang kanoman di Cirebon. Total, lebih-kurang terdapat lima manuskrip di Pamijahan dan 30 di Jakarta dan Leiden yang memberitakan bahwa Abdul Muhyi juga merupakan murid langsung dari al-Qushashi (w. 1660 M), selain Abdur Rauf al-Sinkili.

Dua sumber menyatakan masa hidup Abdul Muhyi dengan waktu yang berbeda. Dari sumber di Belanda yang dipelajari oleh Karuss, diketahui bahwa Abdul Muhyi lahir tahun 1640 M dan wafat tahun 1715 M. Sumber lainnya menyebutkan bahwa Abdul Muhyi lahir tahun 1650 M di Mataram Lombok dan wafat pada tahun 1730 lalu dimakamkan di Pamijahan. Abdul Muhyi berasal dari keluarga bangsawan bernama Sembah Lebe Warta Kusuma, dan masih keturunan dari Raja Pajajaran. Kemungkinan, sumber kedua yang benar. Jika memang Abdul Muhyi merupakan murid langsung dari al-Qushashi, tetapi masih perlu dipertanyakan lagi mengingat jarak waktu lahirnya dengan wafatnya al-Qushashi hanya 10 tahun.

Abdul Muhyi belajar di Ampel Denta sebelum berusia 19 tahun, lalu belajar ke Abdur Rauf al-Sinkili selama enam tahun di Aceh, lalu ke Mekah dengan singgah ke Baghdad untuk berziarah ke makah Abdul Qadir Jaelani. Setelah itu, Abdul Muhyi kembali ke Ampel, lalu ke Darma Kuningan Jawa Barat untuk mengajarkan agama Islam selama tujuh tahun. Atas perintah Abdur Rauf al-Sinkili, dia ke Pameungpeuk Garut, Batuwangi, Lebaksiuh, dan ke Pamijahan di Jawa Barat. Bupati Sukapura memintanya untuk terus menetap di Pamijahan dan menyebarkan ajaran Tarekat Syattariyah, selain sebagai guru agama Islam bagi keluarga Bupati Sukapura, Bupati Wiradadaha IV, dan R. Subamanggala.

Ajaran Wahdatul Wujud: dari Timur Tengah hingga Tatar Sunda

Jika tashawuf diumpamakan sebagai jalan besar, maka tarekat sebagai jalan kecil yang menjadi bagian dari jalan besarnya. Kata tarekat berasal dari bahasa Arab, yaitu thariqah yang berarti al-khat fi al-syai’ (garis sesuatu), al-sirah (jalan), al-sabil (jalan). Dalam literatur Barat, kata thariqah menjadi tarika yang berarti road (jalan raya), way (cara, jalan), dan path (jalan setapak).

Di dalam tarekat, guru sufi disebut mursyid yang terbimbing oleh-Nya dalam ritual tertentu berjuluk Riyadhoh. Riyadhoh bermakna latihan mati sebelum mati yang membantu para salik sebagai murid penempuh jalan ruhani untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Setiap tarekat memiliki ciri khas ritual yang dijalankannya sesuai dengan jiwa zaman dan tempat berdiri serta berkembangnya.

Sistem hubungan antara mursyid dan murid menjadi dasar bagi pertumbuhan tarekat sebagai sebuah wadah pengembangan ruhani. Mursyid mengetahui pertumbuhan dan perkembangan jiwa murid melalui petunjuk-Nya, sehingga memahami cara membimbing jiwa muridnya. Pun murid sebagai orang yang menyerahkan dirinya untuk dibimbing mursyid selayaknya mentaati ajarannya yang diberikan untuk mematangkan jiwa dan raga agar semakin mengenal Kehendak-Nya atas dirinya, yakni mengenal Kehendak-Nya melalui wahdatul wujud.

Agama Islam tidak akan pernah mengakar kuat dan sempurna terpahami di Indonesia sebelum kedatangan para sufi pada abad 12-13 M yang membahasakan Islam sesuai dengan bahasa kaumnya. Sejak abad itu, konsep wahdatul wujud sudah diperkenalkan di Sumatra oleh sufi asal Arab Abdullah Arif (w. 1214 M) melalui Kitab Bahr Al-Lahut (Lautan Ketuhanan) yang banyak dipengaruhi oleh Ibnu Arabi dan Al-Hallaj. Namun, ajaran wahdatul wujud sering disalahpahami serta dianggap sesat dan murtad oleh masyarakat, karena dipahami sebagai pantheisme.

Pantheisme sendiri merupakan konsep yang menyatakan bahwa Tuhan menyatu dengan makhluk. Seringkali pelakunya dihukum mati, seperti Al-Hallaj (857- 922 M), sufi berkebangsaan Persia kelahiran Tur, Iran Barat, yang dihukum mati di Baghdad. Di Indonesia, seperti Syekh Siti Jenar (1404-1517 M) yang juga berkebangsaan Persia yang datang ke Jawa yang dihukum mati oleh dewan wali sanga. Namun, apakah sebab utama dihukum matinya Syekh Siti Jenar ini oleh dewan wali dikarenakan ucapan “Ana Al-Haqq” yang disalahpahami orang sebagai pengakuan bahwa “Aku Tuhan”? Ditambah dengan penegasannya ketika berdialog dengan dewan wali yang tertulis dalam serat Syekh Siti Jenar, “Tidak usah banyak basa basi, bahwasanya aku ini Allah. Akulah sebenarnya yang disebut Prabu Satmata (Hyang Manon, Yang Maha Tahu), tidak ada yang lain yang bernama Allah.”

Lalu, apa makna sebenarnya dari ungkapan “Ana Al-Haqq”, wahdatul wujud, dan manunggaling kawula gusti dalam bahasa Jawa? Karena ajaran Jalaluddin Rumi (1207 M-1273 M, Turki) pun tidak kontroversial, padahal juga penganut wahdatul wujud.

Dari tanah Jawa, pengaruh mistik India dengan ajaran hindunya mempengaruhi kehidupan keagamaan, sosial, politik, dan budaya masyarakatnya. Ternyata, dalam konsep tertentu, mereka memiliki ajaran yang hakikatnya sama dengan tradisi sufi asal Haramayn dan Persia. Sunan Kali Jaga menulis kitab Suluk Ling Lung yang menjadi tafsir atas Serat Dewa Ruci karya Mpu Siwamurti yang mengisahkan tentang kondisi Manunggaling Kawula Gusti yang sama dengan “Ana Al-Haqq”.

Serat Suluk Ling Lung mengisahkan pencarian jati diri Sunan Kalijaga. Seorang pemuda berandalan yang tersadarkan lalu berguru ke Sunan Bonang hingga akhirnya berjumpa dengan Nabi Khidr as. Perjumpaan Sunan Kalijaga dengan Nabi Khidr diibaratkan dengan perjumpaan Bima dengan Dewa Ruci dalam serat Dewa Ruci, juga diibaratkan Wisnu yang menjelma di dalam Kreshna dalam kisah Mahabharata. Serat Cabolek ditulis oleh Raden Ngabehi Yasadipura 1, Serat Centini, dan Serat Wirid Hidayati yang disusun oleh Ronggowarsito, mengisahkan hal serupa.

Dari tatar Sunda, konsep agama pra-Islam yang mirip dengan ajaran wahdatul wujud membuat tradisi kesufiannya gampang dipengaruhi oleh para sufi dari Sumatra, seperti Hamzah Fansuri, Al-Sumatrani (w. 1630 M), Nur Al-Din Al-Raniri (w. 1658 M), dan Abdur Rauf Al-Jawi yang lebih dikenal sebagai Abdul Rauf Al-Sinkili (1615 M, Aceh) yang menjadi guru dari Abdul Muhyi.

Melalui studi arkeologis tentang bangunan peribadatan zaman Sunda kuna oleh Agus Aris Munandar, dkk., dan naskah keagamaan yang ada, bahwa agama zaman Sunda kuna bukan agama Hindu, Budha, maupun Hindu-Budha yang ada di India. Agama tersebut adalah suatu bentuk agama lain yang tampak mencerminkan segi kepraktisan dan mengarah langsung kepada sasaran pemujaan konsep utama tertinggi, walaupun terlihat campuran Hindu-Budha di dalamnya.

Sasaran utama pemujaan agama Sunda kuna sebagai konsep tertinggi disebut sebagai Sang Hyang Taya, Sang Hyang Manon, Sang Hyang Jatiniskala, Sang Hyang Jatinesmen, dan Sang Hyang Tunggal, bukan para dewa trimurti atau Tathagata Budha. Di bawahnya, konsep yang disebut Guriang sebanyak tujuh Guriang. Perwujudan fisik pada tingkatan Sang Hyang dan Guriang tidak dapat dikonkritkan dan hanya diyakini dan dirasakan keberadaannya.

Kedua konsep di atas berada dalam dunia niskala. Setelahnya, para dewa dari Hindu Syiwa dan Budha Mahayana, berada di dunia sakala-niskala. Perwujudan fisiknya bisa dikonkritkan dalam bentuk arca ataupun tidak, yaitu Dewa Yama, Candra, Aditya, Wisnu, Brahma, Iswara, Mahadewa, Kowera, Syiwa, dan Budha dengan beberapa Tathagatanya, seperti Amitabha dan Warocana. Tingkat terbawah, berada di dunia sakala, yaitu arca dewata, nenek moyang, atau objek suci lain yang menjadi sasaran pemujaan. Konsep tiga tingkatan tersebut, kiranya sama dengan konsep hirarki realitas atau martabat tujuh, yang dalam tahapannya terdapat kondisi wahdatul wujud. Mencermati kesamaan hakikat, tampak bahwa semua agama berasal dari Sumber Yang Satu, Yang ingin dikenal melalui manifestasi Diri-Nya pada manusia.

Bukti dari para wali berada dalam kondisi “Ana Al-Haqq”, wahdatul wujud, adalah kitab yang mereka tulis. Serat Niti Mani ajaran Syekh Siti Jenar menjelaskan maknanya, yang sudah diterjemahkan dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia, “Bagi manusia terpilih yang telah mencapai kebenaran tertinggi, pandangannya menjadi jernih sekali ketika berjumpa dengan Dia, hilang dan terleburlah urai yakni dunia. Dia dikuasai oleh Tuhan. Hatinya hanya memandang Zat yang terbebas dari unsur kebendaan. Tiada henti-hentinya dia membayangkan Tuhan. Dia hanya memperhitungkan Tuhan. Seluruh tingkah lakunya dikuasai oleh satu-satunya Sejati. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, tidak melihat, tetapi Yang Maha Luhur adalah telinganya, lidahnya dan matanya. Dia sungguh dalam kekosongan, tanpa jiwa dan raga. Dia diresapi seluruhnya oleh sang Pencipta. Dia disirnakan, sehingga tidak kelihatan lagi. Sama seperti bintang yang lenyap dan tidak kelihatan lagi karena diperdaya oleh cahaya matahari. Mustahillah kawula menjadi gusti, dan gusti tidak menjadi kawula, karena Yang Suci, Zat Hyang Suksma itu langgeng tanpa sebab.”

Bandingkan hakikatnya yang sama dengan hadits qudsi berikut, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., beliau berkata, bahwa telah bersabda Rasulullah saw., ‘sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘siapa yang memusuhi seorang kekasihku, maka Aku menyatakan perang kepadanya, dan tiada mendekat kepadaku seorang hambaku, dengan sesuatu yang lebih kusukai daripada melaksanakan kewajibannya, dan selalu hambaku mendekat kepadaku dengan melakukan sunah-sunah sehingga Aku sukai, maka apabila Aku telah kasih kepadanya, Akulah yang menjadi pendengarannya, dan penglihatannya, dan sebagai tangan yang digunakannya dan kaki yang dijalankannya, dan apabila dia memohon kepadaku pasti kukabulkan dan jika berlindung kepadaku pasti kulindungi.’”(HR. Bukhari).

Ad-Diin (agama) dibangun oleh tiga hal, yaitu: iman, islam, dan ihsan. Iman berwujud cahaya yang berfungsi untuk menerima petunjuk tentang Kehendak-Nya (setelah dada = ash-shadr dilapangkan untuk aslama/berserah diri) yang diturunkan ke qalb, sehingga batin dan lahirnya hanya menampakkan Kehendak-Nya. Merasa dan berpikir seolah-olah merupakan perasaan dan pikiran Allah. Ketika bertindak dengan gerakan badan, tangan, dan kaki, seolah-olah merupakan gerakan Allah. Kondisi “seolah-olah” itulah yang dinamakan ihsan.

Dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa kondisi ihsan masuk ke dalam tingkatan Iman yang ketiga, yaitu Iman ‘Arifin, yaitu keimanan sufi ‘arif billah, al-mu‘min. Mereka yang dalam tingkatan ini selalu dalam keadaan ma’rifat kepada Allah swt dan menyaksikan dengan nurul yaqin, bahkan sampai membuat orang-orang seperti Al-Hallaj, Syekh Siti jenar, dan Jalaluddin Rumi mengucapkan, “Ana Al-Haqq,” seolah-olah Allah. Tingkatan pertama, Iman al-Majazi, percaya sekedar pengucapan syahadat di lidah, belum masuk ke dalam hati dan penuh keraguan. Tingkatan kedua, Iman Hakiki, bahwa iman yang hakikatnya berwujud cahaya tersebut sudah masuk ke dalam hati, walau belum dalam keadaan ihsan.

Ajaran Wahdatul Wujud Ibnu Arabi dan Tarekat Syattariyah

Ibnu Arabi menjelaskan bahwa Allah Yang Memiliki Segala sesuatu dengan tidak berbatas dan rindu untuk dikenal. Oleh karenanya, Dia menciptakan makhluk sebagai tempat Dia berefleksi dan memanifestasikan Diri-Nya serta bercermin menjadi bayangan-Nya. Hal ini sebagaimana Hadits Qudsi, “Aku adalah khazanah tersembunyi (Kanzun Makhfiy). Aku rindu ingin dikenali, sehingga Aku ciptakan makhluk untuk mengenal-Ku (Hadits Qudsiy).”

Karena cinta ingin dikenal, maka Allah ingin menciptakan makhluk sebagai tempat Dia bercermin tentang pengenalan Diri-Nya dan bayangan-Nya. Allah membutuhkan cermin paling sempurna sekaligus menjadi cermin bagi makhluk lain untuk meraih derajat kesempurnaan seorang insan kamil sesuai yang ditetapkan-Nya.

Tempat-Nya sebelum mencipta berada di sebuah tempat abstrak bernama al-Maa’a yang berkonsepsi air yang memberikan kehidupan, tetapi sosoknya tidak seperti air yang kita pahami saat ini. Di dalam Al-Maa’a terdapat Maqhomat al-Malaakutiyah al-Muhayyamah, tebaran ruh (Al-Arwah) yang tidak mengenal apa dan siapapun bahkan dirinya sendiri selain Allah. Allah Sendiri yang menciptakannya langsung tanpa perantara. Allah mengambil satu ruh yang paling mencerminkan-Nya dengan sempurna, yaitu Nur Muhammad, yang dianugerahi-Nya kesadaran, hawa nafsu, syahwat, tujuan, kekuatan, dan juga kematian.

Dari Nur Muhammad tercipta makhluk. Makhluk pertama, dianugerahi-Nya tajalli ‘ilmi (Pengetahuan Ilahiyyah) yang terukir di dalamnya semua hal, kejadian, dan semua makhluk sejak terciptanya alam hingga kiamat, sehingga dia menjadi mengenal dirinya dan lainnya. Ruh itu dinamakan al-‘Aql al-Awwal = al-‘Aql al-Kulli (di dalam al-Qur’an = al-Qolam al-A’alaa). Melalui Tajalli ‘Ilmi, al-Qolam al-A’alaa menyadari bahwa dia memiliki kekuatan untuk menyusun dirinya dan selanjutnya memiliki kemampuan untuk menyadari segala sesuatunya.

Makhluk kedua yang menjadi ‘bayangan’ dari Qolam, merupakan nafsnya yang bernama al-Nafs al-Kulliyyah (al-Nafs al-‘Uulaa) atau al-Lawh al-Mahfudzh sebagai tempat dituliskannya huruf-huruf dan kata-kata Allah melalui nafas ar-Rahman sejak penciptaan alam hingga hari kiamat. Sidratul Muntaha, sebuah batang dahan dari dahan-dahan pohon Kun yang dibawahnya terdapat malaikat pengabdi-Nya dan melaksanakan keputusan, melaporkan semua yang terdapat pada buah pohon dengan berdasarkan pada salinan dari lauh al-Mahfuzh. Semua kejadian di pohon telah memiliki takaran dan ketentuannya masing-masing serta sudah tercatat dalam Lauh al-Mahfudzh. Untuk mewujudkan dan melanggengkan alam semesta, maka al-Lawh al-Mahfudzh (kitab induk) dinikahkan (nikah ma’nawii) dengan al-Qolaam al-A’alaa.

Hal pertama yang dimunculkan oleh al-Lawh al-Mahfudzh adalah Martabat Alam (sifat panas, dingin, kering, basah) dan al-Habaa (al-Hayuulaa al-‘Uulaa) atau debu (I.140.14). Pernikahan keduanya menghasilkan al-Jism al-Kull (tubuh universal). Proses penciptaan alam semesta berlangsung panjang dalam serangkaian sebab-akibat hingga mewujudkan tanah (turaab) (I.140.17) yang merupakan materi fisik pertama, yang sebelumnya hanya bersifat ruhani semata. Makhluk ketiga yang dibagi dari Nur Muhammad, dibentuk dalam al-Jism al-Kull (Tubuh Alam Semesta), yaitu al-‘Arsy, tempat Allah melaksanakan Kuasa (al-‘Arsy al-Istiwaa) yang turun dari asma ar-Rahmaan. Hal itu bermakna, segala sesuatu yang berada di bawah al-‘Arsy berada dalam naungan rahmaniyyah-Nya.

Di bawah al-‘Arsy, terdapat al-Kursiy. Perumpamaan luasnya dengan al-‘Arsy seperti sebuah cincin kecil (al-Kursiy) di gurun yang luas (al-‘Arsy).” Di dalam-Kursiy terdapat al-Falaq al-Atlas atau Al-Falaq al-Buruuj (langit tanpa bintang. Orbit Isotropik = arah lintasannya sama) yang berisikan bola langit konstelasi/zodiak (al-falak al-buruuj = 12 konstelasi). Di bawahnya , Allah menciptakan tujuh “Surga (al-jinaan)” yang dinamakan berbeda dengan perbedaan keadaan dan tingkat sebagai penanda simbolik ‘tempat pertemuan’ antara wujud-wujud ruhani murni dari dalam al-’Arsy dengan wujud-wujud kasat mata dari dalam al-Kursiy.

Surga-surga tersebut berbeda letaknya dengan Samawaat (tujuh lapis langit yang terletak di bawah Al-Falaq al-Mukawkab = langit dengan ‘bintang’ berupa matahari, bulan dan planet yang tetap). Nama-nama ketujuh Surga terdapat di dalam al-Quran dan hadits, dan pengertian mereka tidak sama dengan tujuh langit (samawaati). Berikut nama ketujuh Surga tersebut: 1. Iqomah (tempat tinggal) hamba, 2. Aslama (tempat keberserahdirian) hamba, 3. Al-Khuld, 4. Al-Ma’wa, 5. Al-Na’im, 6. Firdaus, 7. ‘Ad.

Kata ‘al-Wasiilah melintasi ketujuh Surga sebanyak dua kali hingga ke level tertinggi, ‘Adn, Surga Nabi Muhammad saw. Surga ‘Adn disebut juga sebagai al-maqoom al-mahmud (posisi mulia), dan disebut juga dengan Al-Washiilah, yaitu perantara atau Jalan untuk Mendekati Allah. Melalui Nabi Muhammad saw, Allah bisa didekati oleh makhluknya. Jadi, sunnah Nabi Muhammad saw merupakan Jalan kita untuk Mendekati Allah dengan Mengenal-Nya, yakni menjadi insan kamil.

Hadits Nabi Muhammad saw, “Barangsiapa mengenal nafs (jiwa)-nya, maka akan mengenal Rabb (Tuhan)-nya.”

Hanya dengan cara ma’rifat, dan itu pun baru pintu gerbangnya saja, jati diri terbuka. Maka, dengan begitu, manusia menjalani tahap selanjutnya sebagai insan kamil yang di dalam Al-Quran disebut sebagai pemakmur bumi, yaitu manusia yang mengenal Tuhannya sehingga mengetahui Kehendak-Nya akan ”siapa aku”, jiwanya; dirinya sejati, spesifik, unik, berbeda dengan orang lain. Tuhan yang sudah manifestasi di dalam dirinya memberitahu dan senantiasa membimbing untuk mewujudkan tujuan penciptaannya sesuai dengan persaksian (syahadah) di Alam Alastu.

“Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa (nafs) mereka (seraya berfirman), `Bukankah Aku ini Rabb-mu?´ Mereka menjawab, ´Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi´. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kelak kamu tidak mengatakan, ´Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap Rabb´.”
—QS. al-‘Araf [7] ayat 172

Berdasarkan ayat di atas, tampak bahwa manusia memiliki kewajiban untuk bisa mengenal Tuhan-nya. Hanya terwujud dalam kondisi manunggaling kawula gusti, “Ana Al-Haqq”, tetapi tak kan terpahami, malah menyesatkan jika tidak memahami keilmuannya dengan baik.

Hirarki realitas dari Ibnu Arabi dalam Tarekat Syattariyah disusun dengan lebih mudah dipahami menjadi Martabat Tujuh oleh Al-Qushashi yang dijelaskan kembali oleh para muridnya, seperti di dalam kitab Ithaf al-Dhaki yang ditulis oleh al-Kurani, yang juga banyak dirujuk oleh konsep Martabat Tujuh Tarekat Syattariyah. Tidak seperti kitab Tuhfah al-Mursalah, dalam beberapa manuskrip, Martabat Tujuh dijelaskan dengan pelbagai diagram skematik.

Berikut salah satu penjelasan Martabat Tujuh oleh Beben Muhammad Dabas, pemimpin Tarekat Syattariyah di Pamijahan saat ini. Martabat Tujuh sendiri terdiri dari: Ahadiyah, Wahdat, Wahidiyat, Alam Arwah, Alam Mitsal, Alam Ajsam, dan Insan Kamil.

1. Ahadiyah

Realitas Ahadiyah bermakna kekosongan, bagaikan kertas kosong. Akal tidak mampu mengimajinasikannya yang diibaratkan sebagai, “tatkala awing-awang uwung-uwung,” karenanya disebut la ta’ayun. Pengibaratan tersebut sama dengan yang ada di Jawa dalam kitab Wirid Hidayat Jati yang ditulis oleh Ronggowarsito pada abad ke-19 M, “Bismillah al-Rahman al-Rahim, punika martabat Allah Taata tatkala ing dalem gaib kang karihin cinaritaken tatkala awawang uwung-uwung bumi langit durung ana.” Maknanya dalam bahasa Indonesia adalah, “Bismilaahirrahmaanirrahiim. Di kondisi kosong inilah Allah berada ketika dunia belum tercipta.”

Allah bertindak sebagai realitas mutlak, wujud haqq, wujud mahadh (wujud semata), ghaib al-ghuyub (Maha Ghaib melebihi yang ghaib), dan ghaib al-huwiyat (ghaib begitu saja). Allah tidak membukakan Nama-Nya, yang Ada hanya Ahadiyah, Zat Kang Mutlaq, dan Wujud Mutlak.

2. Wahdat

Dalam realitas Wahdat, ketika Allah cinta akan Diri-Nya dan mulai berkehendak atas segalanya; menciptakan sifatnya sendiri sebagai manifestasi pertama Diri-Nya; sumber cahaya yang menerangi dirinya, tetapi belum memancar ke luar; serta sebuah titik di dalam lingkaran, shifat di dalam Ahadiyah, masih dalam wujudullah. Disebut sebagai a’yan tsabitah, wujud mumkin. Realitas Wahdat merupakan jembatan antara Dia sebagai Zat dengan Dia sebagai Shifat. Disebut juga sebagai Nur Muhammad, hakikat Muhammad, yang berisikan shifat-Nya sebagai wujud, ilmu, nur, dan syuhud. Bahwa Nur Allah termanifestasikan di dalam Nur Muhammad.

3. Wahidiyat

Wahdatul wujud. Dalam realitas Wahidiyat ini, Allah memanifestaasikan asma-Nya ke dalam alam semesta. Dia (pemilik cahaya) merefleksikan pengetahuannya untuk menjadi bayangan dari pengetahuan-Nya (a’yan tsabitah). Dia menjadi mengenal Diri-Nya (ma’lum). Realitas ini diumpamakan seperti pagelaran wayang. Makhluk disebut sebagai tayun tsani (bayangan).

Abdur Rauf al-Sinkili menyatakan, “Dunia bagaikan bayangan, bukan keberadaan sejati, sehingga manusia pun merupakan bayangan dari al-Haqq atau bayangan dari Bayangan-Nya.”

Dia merefleksikan dirinya sendiri, karena pemilik cahaya dan bayangannya serupa, seperti halnya lampu dengan bayangan boneka pada tirai. Bagaikan batin dan lahirnya sesuatu. Realitas Wahidiyat disebut juga sebagai Asma ar-Rahmaan. Kaitan ketiga realitas pertama, yaitu Ahadiyah, shifat dari Ahadiyah, dan asma dari Ahadiyah.

4. Alam Arwah

Alam Arwah merupakan tempat manifestasi shifat-shifat-Nya. Diibaratkan, bagai matahari dan cahayanya, ruh merupakan elemen yang serupa dengan cahaya yang direfleksikan, aspek lahir yang merefleksikan aspek batin. Cahaya yang terefleksikan sering ditafsirkan sebagai nama dari ruh Nabi Muhammad saw. Ruh belum lagi terbentuk sesuai dengan bagian dari Diri-Nya yang ingin Dia manifestasikan.

“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya, ‘Jadilah!’ Lalu jadilah dia.”
QS. al-Baqarah [2] ayat 117

5. Alam Mitsal

Secara bahasa, mitsal bermakna perumpamaan yang menggambarkan imajinasi dari ruh yang muncul sebelumnya di alam arwah. Di Alam Mitsal inilah ruh menerima takdirnya, anarima pandum, dan bentuknya. Diilusttrasikan oleh lingkaran yang terpisah dari tiga realitas sebelumnya. Ruh Rahmani-Nya dituangkan ke dalam empat ruh: nabati, hewani, jasmani, dan ruhani.

6. Alam Ajsam

Di dalam alam ini, untuk pertama kalinya, ruh memanifestasikan dirinya ke dalam dunia yang kasat mata, jasadiyah. Setelah 100 ribu tahun, Allah mencampur empat ruh: nabati, hewani, jasmani, dan ruhani menjadi satu yang disebut dengan ruhiyah. Hakikat baru yang telah menerima takdir, mengenal dosanya sendiri, memiliki panca indera batin dan lahir. Allah pun menganugerahkan hakikat baru itu dengan pendengaran (sama’), lalu memberitakan Diri-Nya.

“Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa (nafs) mereka (seraya berfirman), `Bukankah Aku ini Rabb-mu?´ Mereka menjawab, ´Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi´. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kelak kamu tidak mengatakan, ´Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap Rabb´.”
—QS. al-‘Araf [7] ayat 172

Setelah semuanya diciptakan dan diletakkan di bumi, Allah berkata, “Semua yang ada di bumi diciptakan dan ditundukkan untukmu, Manusia.”

Qs. 31 : 20

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.”
QS. Luqman [31] ayat 20

Ruhiyah Muhammad saw menyatakan, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan-Mu.”

7. Alam Insan Kamil

Setelah keempat ruh dicampur, Allah memerintahkan para malaikat untuk mencampurkan kepada mereka air, tanah, api, dan udara. Lalu, ada yang memasuki tulang sulbi Adam yang dinamakan jauhar manikem. Ada yang memasuki muka Adam, dinamakan nurbuwah Rasulullaah saw. Lalu Allah memerintahkan para malaikat untuk mengambil jauhar manikem dan disebarkan ke angkasa untuk menjadi pelbagai bangsa (a’yan kharijah). Ketika sudah membumi disebut dengan a’yan durriyah. Lalu jauhar kembali dikumpulkan dan disuruh masuk ke jasmani Adam serta disuruh melihat nurbuwah Rasulullaah saw yang berada di muka Adam. Jauhar itu memiliki aneka persepsi dalam melihat nurbuwah Rasulullah saw yang mengakibatkan adanya perbedaan nasib, sesuai dengan yang tertulis di Sajaratul Muntaha.

Penutup

Ajaran wahdatul wujud bermaknakan bahwa ketika seseorang makrifat, berada dalam kondisi keimanan tertinggi, yaitu ihsan. Maka, ketika mendengar, dia mendengarnya dengan telinga Allah, berbicara dengan lidah Allah, bergerak dengan gerakan Allah yang seolah-olah Allah. Hal ini karena semua rasa, karsa, cipta, dan karyanya berdasarkan Kehendak Allah. Begitupun yang dialami oleh para sufi, wali, dan ulama. Mereka pun saling menjaga khazanah agama Islam bersesuaian dengan zaman dan bangsa tempatnya untuk menetap dan menyebarkan ajaran. Meskipun demikian, ada yang harus mengorbankan diri sebagai martir, seperti al-Hallaj. Sementara para wali lainnya menjaga khazanah di tingkat lainnya agar tak sampai menyesatkan masyarakat yang belum sampai ke dalam kondisi wahdatul wujud, “Ana al-Haqq”, ataupun manunggaling kawula gusti.

Menakjubkan, melihat transmisi penyebaran agama Islam yang cukup rumit di Nusantara, terutama di Indonesia, spesifiknya di Pamijahan-Tasikmalaya. Karena transmisi tersebut membentang dari Timur Tengah, India, Sumatra, lalu ke Pamijahan-Tasikmalaya yang berasimilasi dengan kebudayaan pra-Islam.***

    Author Profile

    Dwi Afrianti
    Meraih gelar Magister Humaniora dari Sejarah Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung. Saat ini, sedang menjalani studi doktoral di jurusan Religious Studies - Filsafat Agama UIN SGD Bandung.

    Eksplorasi konten lain dari Siloka.org

    Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

    Tinggalkan Balasan

    Eksplorasi konten lain dari Siloka.org

    Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

    Lanjutkan membaca