Melawat Safarwadi, Menapaki Syekh Abdul Muhyi

Malam baru saja larut dalam persemaiannya, dan adzan Isya mulai menggema di seantero penjuru desa Pamijahan, Bantarkalong, Kab. Tasikmalaya, Jawa Barat. Setelah melewati bentangan alam dan sawah yang gelap gulita, kini kami justru tiba di sisi sebuah desa yang benderang dengan cahaya lampu. Bukannya sepi, parkiran utama justru mulai dipenuhi mobil dan bis dari berbagai penjuru kota di Jawa Barat. Tak dinyana, kami sudah tiba di kawasan pemakaman seorang suci besar yang menjadi tonggak Islamisasi di Jawa Barat bagian selatan.

Gerbang Kawasan Pemakaman Syekh Abdul Muhyi, Pamijahan, Tasikmalaya.

Hari itu, pada penghujung Januari 2025 dan Rajab 1446H, saya menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di Pamijahan. Nama daerah ini begitu santer di kalangan muslim di Jawa Barat. Di tempat inilah, sang syekh pernah hidup bersama keluarga dan para muridnya. Dan di tempat ini pulalah, jasad beliau disemayamkan 295 tahun silam setelah sekitar 40 tahun berdakwah kepada masyarakat di wilayah Sukapura, Jawa Barat.

Beliau adalah Syekh Abdul Muhyi. Tentunya, sebuah perjalanan panjang nan menantang hingga beliau menjejakkan kaki di Jawa Barat bagian selatan. Bahkan, sampai hari ini pun, wilayah ini masih tergolong terbelakang dengan akses yang relatif sulit dibandingkan wilayah lainnya di Jawa Barat.

Syekh Abdul Muhyi sendiri lahir di Kotapraja Mataram Islam pada tahun 1650 dari pasangan Sembah Lebe Wartakusumah dan Raden Ajeng Tangenijiah. Sang ayah merupakan bangsawan Sunda keturunan Raja Sunda-Galuh yang mengabdi sebagai penghulu di kerajaan Sumedang Larang sebagai utusan dari Mataram. Sedangkan sang ibu keturunan bangsawan Mataram Islam bernasab Sunan Giri I. Saat itu, Kesultanan Mataram dipimpin oleh Amangkurat I yang dikenal kontroversial karena melakukan perjanjian dengan Belanda serta melakukan pembunuhan massal terhadap enam ribu ulama di daerah Tapal Kuda yang berada di ujung timur Pulau Jawa.

Masa kecil dan remaja Syekh Abdul Muhyi dihabiskan di Kotapraja Mataram dan Pesantren Ampel Denta. Di pesantren ini pula, beliau banyak belajar tentang Islam sekaligus tata kelola pemerintahan. Untuk memperdalam keilmuannya, beliau pun memutuskan untuk berangkat ke Mekkah di semenanjung Arab pada usia 19 tahun. Namun, sebelum ke Mekah, beliau memutuskan untuk singgah dulu di Aceh dan berguru ke Syekh Abdul Rauf as-Singkil. Kala itu, Negeri Serambi Mekah tersebut menjadi salah satu pusat keilmuan Islam di Nusantara.

Syekh Abdul Rauf as-Singkil sendiri seorang ulama dan mursyid dari garis Thariqah Syathariyah. Pada momen ini, Syekh Abdul Muhyi menjalani laku sebagai Salik Thariqah Syathariyah sekaligus memperdalam ilmu agama yang dimiliki oleh gurunya, terutama ihwal tafsir dan fikih. Setelah enam tahun berguru, Abdul Muhyi pun melanjutkan perjalanannya ke Mekah dengan ditemani oleh sang guru. Di tengah perjalanan, keduanya berziarah ke makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani di Irak. Beliau merupakan ulama Thasawuf sekaligus pendiri Thariqah Qadariyah.

Di Mekah dan Madinah, Syekh Abdul Muhyi muda berguru kepada Syekh Ibrahim al-Kurani dan Syekh Hasan al-Hajam. Keduanya merupakan ulama Thariqah Syathariyah yang tinggal di Arab. Di tempat ini pula, Syekh Abdul Muhyi mendapatkan pengalaman fana tentang gua yang harus ditemukannya di Nusantara.

Setelah sembilan tahun belajar di Mekah dan Madinah, Syekh Abdul Muhyi pun kembali ke Nusantara pada tahun 1679. Sebelum ke pulau Jawa, beliau singgah dulu ke Syekh Abdul Rauf as-Singkil di Aceh untuk memohon nasihat Sang Guru tentang rencananya untuk tinggal di Pulau Jawa. Dalam pertemuan ini pula, Syekh Abdul Rauf as-Singkil menunjukkan wilayah dakwahnya yang ditandai dengan pesan yang diterimanya di dalam fana tentang sebuah gua di pulau Jawa. Salah satu tanda keberadaan gua tersebut adalah tanaman padi yang hanya berbuah satu benih padi di setiap tanamannya.

Sesampainya di pulau Jawa, Syekh Abdul Muhyi memulai pencarian gua tersebut di wilayah Darma Kuningan. Di desa ini, beliau sempat mendirikan pesantren dan memiliki beberapa murid. Di tempat ini pula, orang tuanya memutuskan untuk tinggal bersama Syekh Abdul Muhyi. Setelahnya, beliau melanjutkan perjalanan ke Pameungpeuk di Garut Selatan. Di tempat ini, sang ayah wafat dan dimakamkan di tepi kali Cikahyangan di Garut Selatan.

Perjalanan Syekh Abdul Muhyi berlanjut hingga beliau dan keluarga serta muridnya tiba di Batu Wangi, lalu tinggal di Lebaksiuh selama empat tahun. Dari sini, beliau pun menemukan desa Pamijahan yang hasil tanaman padinya sesuai dengan gambaran yang disampaikan gurunya, Syekh Abdul Rauf as-Singkil. Di tempat ini pula, pada usia 40 tahun, Syekh Abdul Muhyi menemukan gua yang dilihatnya pada fananya ketika masih belajar di Mekah 12 tahun sebelumnya.

Syekh Abdul Muhyi menamai gua tersebut sebagai Safarwadi. Dalam bahasa Arab, kata Safarwadi terdiri dari dua kata, yaitu: Safar yang berarti perjalanan, dan Wadi yang berarti lembah. Safarwadi merupakan lembah hasil dari perjalanan spiritualnya hingga menemukan gua tersebut. Di gua ini, beliau mulai membangun pusat pendidikan Islam yang merujuk ke sistem pendidikan Pesantren Ampel Denta, Pesantren Giri, dan Dayah Syekh Abdul Rauf as-Singkil.

Perlahan, wilayah ini dikenal sebagai desa Pamijahan. Pamijahan sendiri berasal dari kata dalam bahasa Sunda yang bermakna tempat membudidayakan benih-benih ikan air tawar. Secara filosofis, kata Pamijahan bermakna tempat membudidayakan benih-benih ulama Tashawuf yang akan mendakwahkan dan menyebarkan Islam ke masyarakat di Jawa Barat bagian selatan.

Sebagai Ulama, Syekh Abdul Muhyi turut memberikan kontribusi besar kepada penguasa di wilayah Sukapura. Beliau menjadi penasihat utama bupati ketiga Sukapura, Raden Anggadipa I yang bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha III, atau yang dikenal sebagai Dalem Sawidak. Pada masanya, Dalem Sawidak berhasil menata wilayah Sukapura sebagai salah satu lumbung padi di wilayah Jawa Barat bagian selatan dengan menata wilayahnya sekaligus memanfaatkan Sungai Ciwulan sebagai sumber air utama bagi pertanian di wilayahnya.


Kawasan lorong menuju komplek pemakaman. Para penduduk menjadikan halaman rumahnya sebagai serambi toko yang terang benderang. (Foto: Yudha PS)

Selepas shalat Isya, saya bersama kawan-kawan dari Tasik mulai melangkahkan diri menuju Komplek Pemakaman Syekh Abdul Muhyi. Di sepanjang lorong menuju komplek pemakaman, penduduk setempat menyulap halaman rumahnya menjadi serambi toko yang menawarkan berbagai dagangan khas Pamijahan. Umumnya, mereka menyajikan cinderamata khas Pamijahan, seperti pakaian, busana muslim, parfum, dan juga aksesoris beribadah. Namun, beberapa lainnya turut menyajikan makanan dan bahan pakan khas wilayah Pamijahan. Menariknya, sajian ini terhampar selama 24 jam setiap harinya. Kondisi ini membuat lorong selebar dua meter menjadi penuh cahaya lampu kala malam hitam menggulita. Terlebih lagi, jalan lorong yang sudah berhamparkan ubin, membuat kami nyaman melangkahkan kaki di segala kondisi cuaca, termasuk hujan.

“Pamijahan itu salah satu tempat ziarah yang paling rapih dan tertib, kang Yudha,” pengantar ustadz Rahmat Hidayat kepada saya. Saya pribadi percaya dengan penilaiannya. Maklum, beliau berpengalaman dalam mengantarkan banyak jamaah di Tasikmalaya ke berbagai pemakaman para wali di pulau Jawa. Malam itu, sungguh amat beruntung karena beliau menjadi pemandu saya dan teman-teman Tasikmalaya untuk berziarah ke makam Syekh Abdul Muhyi. Dengan sigapnya, kang Rahmat menyediakan berbagai kebutuhan kami berlima dalam ziarah hari itu.

Setelah menelusuri lorong sejauh 450 meter, akhirnya kami tiba di Komplek Pemakaman Syekh Abdul Muhyi yang berada tepat di tepi Sungai Safarwadi. Sungai ini memisahkan antara komplek pemakaman dengan perumahan penduduk. Untuk mencapai komplek makam, kami harus menyeberangi jembatan selebar dua meter. Setelahnya, kami disambut oleh sebuah gerbang bertuliskan, “Selamat datang di makam Waliyullah Safarwadi di Pamijahan.”

Berfoto di gerbang Komplek Pemakaman Syekh Abdul Muhyi, Pamijahan, Tasikmalaya. Ust. Rahmat Hidayat (kiri) sebagai pemandu ziarah kami berlima.

Untuk mencapai area makam, kami harus mendaki beberapa puluh anak tangga dengan kemiringan hampir 45 derajat. Tak lupa, para pengunjung diharuskan untuk melepaskan alas kaki sebelum menapaki anak tangga pertama. Di sekeliling anak tangga tersebut, makam-makam keluarga dan murid Syekh Abdul Muhyi berjajar rapih di setiap undakannya. Suasana lampu yang terang menderang langsung menghapus suasana makam yang cekam nan kelam pada malam hari.

“Bagi yang paham, mereka berziarah ke makam Syekh Abdul Muhyi pada malam hari, kang Yudha,” papar kang Rahmat. Bagaimana pun, suasana malam hari cocok untuk para peziarah merenungkan perjuangan Syekh Abdul Muhyi dalam menyebarkan Islam di tanah Priangan Timur sekaligus wisata untuk mengingat kematian. Gelap yang menyelimuti makam-makam di sekitar makam utama seperti memperlihatkan kepada para peziarah tentang gelapnya alam kubur mendatang. Pesannya pun jelas, “Bersiaplah dengan kematian, dan berkemaslah dengan perbekalan terbaiknya, yaitu Taqwa.”

Tak sampai lima menit, kami pun tiba di area makam utama. Sebelum memasuki area makam, para peziarah dipersilahkan untuk Wudhu di tempat Wudhu yang tersedia di ujung paling atas tangga. Setelahnya, para peziarah bisa masuk dan mengambil tempat yang kosong di sekeliling makam Syekh Abdul Muhyi.

Berbeda dengan makam-makam di sekelilingnya yang berselimutkan tanah dan beratapkan langit, makam Syekh Abdul Muhyi berada di sebuah bangunan cungkup yang berlantaikan keramik serta berhiaskan lampu di setiap bagian langit-langitnya. Dinding dan keramik sendiri berwarna putih, sehingga tampak terang benderang pada malam hari. Di sekeliling makam utama tersebut terdapat makam lainnya yang diselimuti keramik serupa lantai.

Makam Syekh Abdul Muhyi yang berada di dalam bangunan cungkup dengan lantai yang dilapisi keramik.

Makam Syekh Abdul Muhyi sendiri ditutupi kain penutup di sekelilingnya. Hal ini membuat kami tidak bisa melihat langsung ke dalam area pemakaman utama. Kang Rahmat Hidayat langsung mengarahkan kami ke tempat yang kosong dan mempersilahkan kami untuk membentuk dua shaf yang menghadap ke makam. Setelah kami siap, beliau pun mengirimkan al-Fatihah kepada Rasulullah hingga ke guru kami, yang dilanjutkan mengirimkan al-Fatihah kepada Syekh Abdul Muhyi. Setelahnya, kami membacakan Yassin bersama-sama sebagai “hadiah” kepada Sang Syekh atas jasanya yang telah memperkenalkan Islam kepada masyarakat Jawa Barat bagian selatan.

Selang setengah jam kemudian, kami pun selesai mendoakan Syekh Abdul Muhyi dan mengambil banyak pelajaran dari kunjungan tersebut. Setelahnya, kami kembali turun ke area pemukiman penduduk untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Gua Safarwadi yang terletak di sebelah barat daya Komplek Makam Syekh Abdul Muhyi.

Untuk mencapai gua, kami harus berjalan menempuh jarak 800 meter. Lorong menuju gua hampir sama dengan suasana sebelumnya yang penuh rumah penduduk dengan etalase dagangannya. Hanya saja, jalan menuju gua relatif agak menanjak, sehingga kami harus berpeluh ringan untuk mencapainya.

Tak sampai 15 menit, kami pun sudah tiba di mulut gua. Setelah menyewa petromak kepada penduduk setempat, kami mulai menelusuri lorong-lorong gua yang relatif terjal dan berbatu. Di sela-sela lantai gua terdapat aliran sungai yang jernih dan melimpah. Hal ini membuat saya harus memilih jalan yang kering agar sepatu yang saya gunakan tetap dalam keadaan kering.

Gua Safarwadi sendiri memiliki panjang sekitar 284 meter dan memiliki dua pintu masuk. Saya pribadi masuk melalui Kampung Pamijahan, sedangkan mulut gua lainnya berada di Kampung Panyalahan. Awal memasuki gua, lorong gua relatif sempit dengan lebar dan tinggi sekitar dua meter. Namun, semakin dalam kami memasukinya, lorong gua semakin lebar. Ujungnya adalah sebuah ruangan yang luas dan tinggi yang berfungsi sebagai ruang utama masjid. Konon, di tempat ini, Syekh Abdul Muhyi memberikan pengajaran kepada murid-muridnya.

Tak jauh dari ruangan ini, terdapat ruangan seluas 3 x 3 meter yang disebut-sebut sebagai tempat berkumpulnya para wali. Namun, seorang kawan memberitahukan bahwa ruangan tersebut semacam tempat Riyadhoh Syekh Abdul Muhyi untuk melantunkan dzikir dan bertawajuh kepada Allah ta’ala.

Kami berenam berfoto bersama di ruang utama di Gua Safarwadi, Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Semakin dalam kami berjalan, semakin pengap udara terasa. Terlebih lagi, bersama kami, ada puluhan orang lainnya yang masuk dan menapaki perjalanan Sang Syekh di Gua Safarwadi. Pikiran saya langsung terbang ke masa lalu ketika Syekh Abdul Muhyi menjadikan Gua Safarwadi sebagai tempat berkumpul bersama murid-muridnya. Tentunya, api penerangan obor agak sulit berkobar di dalam gua yang pengap dengan oksigen yang terbatas.

Berbicara tentang gua, Rasulullah sendiri kerap berdiam diri untuk Tafakur di Gua Hira hingga datangnya malaikat Jibril yang membawa wahyu untuk pertama kalinya pada bulan Ramadhan. Adapun al-Qur’an sendiri secara khusus menyematkan kata gua di dalam surat al-Kahfi. Diceritakan, sekelompok pemuda berlindung di sebuah gua dan mengharapkan Rahmat dari sisi Rabb-nya serta memohon Amr yang Rasyadan.

Lebih lanjut, dijelaskan bahwa para pemuda yang berjuluk Ashabul Kahfi tersebut merupakan pemuda yang beriman dan meninggalkan sesembahan masyarakatnya kepada sembahan yang selain Allah. Singkat kata, mereka ditidurkan di dalam gua selama ratusan tahun, kemudian terbangun dengan kondisi masyarakat yang baru. Dengan kata lain, gua merupakan tempat hijrah para orang-orang Shalih untuk menjauh dari hingar bingar kehidupan dan masuk lebih dalam guna melihat dirinya sendiri dan merenungi kehadirannya di muka bumi. Harapannya, Allah ta’ala menggugurkan keburukan dan menyematkan anugerah yang membuatnya menjadi seseorang yang baru. Sebagaimana ulat yang memasuki “gua” kepompongnya dan menjadi kupu-kupu yang indah dan bermanfaat bagi bunga-bunga di sekelilingnya.

Gua Safarwadi sendiri merupakan Kahfi-nya Syekh Abdul Muhyi. Di tempat ini, pada usia 40 tahun, beliau mengharapkan keteguhan keimanan dan ketakwaan agar Allah menyempurnakan nikmatnya kepada Sang Syekh agar masuk ke dalam golongan para ahli nikmat, sesuai yang disebutkan dalam alQuran dalam surat an-Nisaa [4] ayat 69. Oleh karena itu, tak heran bila di Gua Safarwadi pula, beliau memberikan pengajaran yang khusus kepada para murid-muridnya yang telah senior.

Menengok keberadaan gua bagi Syekh Abdul Muhyi tersebut, saya mencoba menengok himbauan untuk para peziarah agar adzan di mulut gua dan mimbar di dalam gua. Adzan merupakan seruan bagi seorang Muslim untuk Sholat dan meraih al-Falah. Al-Falah sendiri bisa dimaknai sebagai kemenangan atau keberuntungan.

Akar kata al-Falah sendiri adalah Fa-La-Ha (ف-ل-ح) yang bermakna dasar membelah, mengolah, atau membuka sesuatu untuk mendapatkan hasil. Dalam konteks pertanian, kata tersebut menggambarkan seorang petani yang harus membelah tanah untuk menanam benih, merawatnya, hingga mendapatkan hasil panen terbaiknya. Mereka yang mendapatkan kemenangan atau keberuntungan disebut al-Muflihun (الْمُفْلِحُونَ). Kata ini disebutkan di dalam QS. al-Baqarah [2] ayat 5 yang ditandai dengan mendapatkan petunjuk (al-Huda) dari Rabb-nya.

Menelusuri Gua Safarwadi ibarat menempuh kegelapan gua dunia menuju cahaya-Nya.

Memasuki gua Safarwadi adalah menapaki jalan Kahfi untuk menjadi orang yang beruntung. Oleh karena itu, tak heran bila sebelum memasukinya, para peziarah dianjurkan untuk melantunkan adzan. Hal ini sebagai pengingat bahwa perjalanan setiap manusia harus berujung kepada Kahfi-nya masing-masing, sehingga Allah ta’ala melimpahkan petunjuk dan menjadikan mereka orang-orang yang beruntung di sisi Allah ta’ala.

Setelah sekitar satu jam menelusuri Gua Safarwadi, akhirnya kami memutuskan untuk kembali pulang melalui mulut gua yang jadi pintu masuk kami. Pemandu yang membawakan lampu petromak untuk kami, berjalan paling depan, dan secara beriringan kami berjalan di belakangnya. Cahaya yang terang benderang menghempas kegelapan gua, sehingga kami bisa dengan mudahnya berjalan.

Sekejap, pikiran saya teringat penggalan QS. al-Baqarah [2] ayat 257 tentang Allah sebagai Wali orang-orang yang beriman yang mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (an-Nur). Tercetus bahwa petualangan kami di gua Safarwadi malam itu adalah pelajaran tentang perjalanan menembus kegelapan gua dunia menuju cahaya-Nya. Sebagaimana perjalanan seorang Syekh Abdul Muhyi untuk menembus kegelapan Jawa Barat bagian selatan menuju cahaya Islam, dan semoga turut serta bersama cahaya Iman.***

Author Profile

Yudha P, Sunandar
Lahir dari seorang ayah penggemar wayang golek dan pengidola dalang Sunda asal Bandung, Jawa Barat. Senang menjelajahi berbagai wilayah di Indonesia dan menelusuri berbagai khazanah di dalamnya. Berpengalaman sebagai Jurnalis dan Event Management. Saat ini, sedang menekuni mitologi Mahabarata dan khazanah Syekh Hamzah Fansuri.

Eksplorasi konten lain dari Siloka.org

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Siloka.org

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca