Menyambangi Banyuwangi yang terletak di ujung timur pulau Jawa untuk yang ketiga kalinya telah membawa pada sisi cerita yang lain. Kunjungan pertama pada 2019, Banyuwangi, atau tepatnya pelabuhan Ketapang, hanya sebagai transit sebelum menyeberang ke pulau Bali. Tak ada pemandangan yang dapat dilupakan saat itu, kecuali kesibukan pelabuhan Ketapang di malam hari. Sedangkan pada kunjungan kedua pada 2023, mulailah tersingkap informasi yang mengantarkan pemahaman betapa Banyuwangi merupakan lokasi yang luas, kaya, dan penuh cerita.
Pada kali kedua, penjelajahan utama dilakukan di Taman Nasional Baluran. Masyarakat memberi nama yang puitis untuk Taman Nasional Baluran ini, yaitu “Savannah dari Jawa”. Baik padang rumput maupun hutan tropisnya memang begitu eksotis. Baluran sangat cocok untuk mendapatkan pengalaman “meng-alam” yang senang berpetualang, ataupun untuk lokasi penelitian satwa liar, seperti yang tengah dilakukan kawan perjalanan saya.
Berdasarkan informasi dari situs Kementrian dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia, habitat Taman Nasional Baluran memiliki dua jenis ekosistem, yaitu: ekosistem darat (terestrial) dan ekosistem laut (marine). Dari situs tersebut, dimuat informasi bahwa Taman Nasonal Baluran dengan habitat darat adalah bagian yang terbesar, yaitu sekitar 25 ribu Ha. Sementara itu, bagian habitat laut, yang pantai laut sejauh relatif +2.300 meter, terletak di bagian utara dan bagian timur Taman Nasional Baluran dengan luas kurang lebih tiga ribu Ha.
Setelah menempuh perjalanan sepanjang 35 km dari kota Banyuwangi, sejak dari pos penjualan tiket Taman Nasional Baluran, kendaraan kami bergerak perlahan menuju bagian ujung Baluran, yaitu Pantai Bama. Di sini, kami mengambil gambar perilaku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis). Pada kunjungan sebelumnya, saya sempat parno dengan monyet ekor panjang. Pasalnya, tas berisi air minum, dompet, dan barang penting lainnya sempat dibawa kabur seekor monyet yang tengah kehausan. Cukup berpeluh saat itu untuk mendapatkan kembali tas saya yang dibawa kabur itu. Kini, dengan hamparan padang savana yang mencoklat karena tengah musim kering, membuat saya lebih berhati-hati. Pastilah satwa-satwa, terutama monyet ekor panjang tengah kehausan.
Mengunjungi Taman Nasional Baluran saat musim kemarau ini, banyak satwa yang berkumpul di kubangan buatan di Savana Bekol. Beberapa perilaku monyet ekor panjang tertangkap kamera. Kawanan badak di kejauhan menggoda untuk menangkap gambar yang puitis. Namun, karena keterbatasan alat, membuat kawan yang bertugas mengambil gambar tidak sempat menyambangi kawanan badak lebih dekat.
Begitu tiba di Pantai Bama, suasana sunyi yang lebih khidmat segera menyambut kami. Selain pengunjung memang tidak terlalu banyak, kondisi gerimis sebagai tanda awal memasuki musim penghujan telah menunda beberapa pengendara motor di pos pembelian tiket. Suasana pantai Bama membuat mata segar dengan hamparan laut biru yang terbentang di hadapannya. Perahu penyebrangan yang tengah bersiap mengantarkan beberapa pengunjung, mampu menghantarkan kita pada refleksi mengenai alam dengan lebih dekat.
Dalam kajian agama dan ekologi, isu mengenai peran manusia yang sentralistik menjadi sorotan tajam. Manusia yang mendaku diri sebagai penguasa yang dapat mengeksplorasi alam untuk kepentingan mereka, di tempat ini terkesan sangat lain. Pengamatan monyet ekor panjang, di sejumlah sisi yang begitu dekat dengan pengunjung, mereka nangkring mengamati kami sebagai manusia. Mata mereka seakan berbinar-binar, tertarik kepada apa saja yang dikonsumsi manusia. Saat beristirahat di sebuah warung tepat di sisi pantai, pemilik warung menyiapkan sapu lidi di tangannya untuk memberikan efek takut kepada para monyet yang menanti celah untuk masuk ke warung.
Pantai Bama merupakan pantai yang indah untuk dinikmati. Bersyukur juga saat menelisik di sekitar pantai yang ada di hadapan saya, tak berceceran sampah bekas pengunjung. Dengan menggunakan tripod sederhana, saya menancapkan kamera untuk menghidupkan kamera lalu menangkap aktivitas ombak, perahu, dan monyet yang ada di situ. Monyet ekor panjang tidak banyak yang mendekat ke arah pantai tempat saya mengambil video dan gambar kenang-kenangan. Untuk mengambil gambar perilaku mereka, rupanya perlu memasuki tempat yang lebih dalam dan agak tersembunyi. Sementara itu, sesuai dengan bidang perhatian saya, yaitu religi dan budaya, sambil memandang keindahan pantai yang sangat cocok untuk para jiwa introvert, eksplorasi mengarah kepada “kedalaman” budaya dan foklor Banyuwangi.***
Author Profile
- Pengkaji Budaya. Meraih gelar Magister Humaniora dari Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Aktif sebagai periset dan penulis dalam isu religi dan budaya. Saat ini berprofesi sebagai dosen di Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Jawa Barat.
Latest entries
- Lampah11/11/2024Banyuwangi dan Framing Mistis oleh Media (3)
- Lampah08/11/2024Perjalanan ke Ujung Timur Pulau Jawa: Mengeja Yang Sakral (2)
- Lampah05/11/2024Perjalanan Ke Ujung Timur Pulau Jawa: Menghayati Kekayaan Alam Hayati (1)
- Lampah28/08/2024Perjalanan Dalam Imajinasi Inklusivitas Agama: Praktik Epoche