Perjalanan Dalam Imajinasi Inklusivitas Agama: Praktik Epoche

Terlampau sulit untuk melepaskan imaji Bali sebagai kota pariwisata, mengingat promosi di dalam maupun luar negeri begitu massif menawarkan keindahan budaya Bali. Selepas dari kereta api yang saya tumpangi dari Yogyakarta sampai Banyuwangi, travel datang menjemput. Perjalanan menunju Denpasar akan ditempuh selama beberapa jam, termasuk menyebrang dari Ketapang menuju Gilimanuk.

Waktu penyebrangan dari Ketapang ke Gilimanuk pada tengah malam membuat pemandangan laut sama sekali tidak tampak. Namun, Perkenalan dengan beberapa penumpang di atas kapal penyebrangan selalu menyenangkan, terutama jika menjumpai sesama traveler perempuan. Pertanyaan umum jika bepergian, seperti saat ini, “Ada acara apa di Bali? Liburan atau bekerja?” Dengan mantap saya menjawab, “Saya akan tinggal di desa untuk melihat keseharian warga setempat. Bukan liburan.” Dengan jawaban demikian, saya merasa sudah dapat menghindari imaji Bali sebagai kota untuk melepas penat semata.

Tiba di Denpasar menjelang subuh, dengan kondisi saya yang harus berjalan kaki menuju hotel yang sudah dipesan sebelumnya. Pemandangan sekumpulan lelaki dan perempuan yang baru selesai bekerja, sedikit menciutkan hati. Ternyata, letak hotel pemesanan saya berada di lingkungan hiburan malam. Namun, sekumpulan lelaki dan perempuan yang sedang melepas lelah tersebut sangat ramah, lalu menunjukkan saya kepada kawan mereka yang bisa mencari hotel yang saya tuju. 

Berjumpa Yang Sakral: Mempraktikkan Metode Epoche

Sebelum dijemput seorang kawan baru menuju rumahnya di Desa Megati, Tabanan, saya berusaha menikmati pemandangan pantai yang tak jauh dari hotel, yaitu Pantai Kuta. Begitu melangkahkan kaki ke luar hotel, menuju jalan kecil yang ramai dengan berbagai macam ras manusia, saya menjumpai sesuatu yang unik, yaitu: tatanan atau wadah segi empat terbuat dari janur lengkap dengan isinya.

Begitu tiba di pantai, wadah serupa yang terbuat dari janur tersebut saya jumpai kembali. Begitu pula ketika berada di trotoar samping jalan raya, di pintu depan minimarket, perempatan jalan, dan banyak tempat lainnya. Wadah janur tersebut ada yang tersimpan rapi tanpa gangguan, ada pula yang sepertinya sudah beberapa kali terinjak atau diterbangkan angin. Setelah mengalami perjumpaan berulang kali dengan wadah janur tersebut, kemudian saya mengetahui bahwa benda tersebut disebut canang yang sifatnya sakral, termasuk juga penempatannya. 

Kumparan menguraikan bahwa Canang merupakan persembahan sederhana umat Hindu sebagai bentuk rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi demi kedamaian di dunia. Adapun isian canang mudah dikenali, karena memang terbuat dari janur yang diisi dengan bunga dan dupa.  Meskipun merupakan bagian dari persembahan sederhana, tetapi untuk upacara besar, jika tak ada canang, maka tidak dianggap sempurna. Sedemikian khusus eksistensi canang ini bagi kesakralan hari maupun upacara besar umat Hindu. Canang sebagai persembahan harian biasanya diletakkan di tempat tertentu mulai dari pukul 06.00 WITA.

Lantas, apa yang dirasakan saat menjumpai aneka persembahan, bahkan ruang yang ditata sedemikian rupa sebagai sinergi dengan yang sakral dalam Hindu? Dalam proses mengolah perjumpaan saya sebagai muslim di daerah yang kental sakralitas Hindu, maka sebuah metode fenomenologis yang saya gunakan. Dalam fenomenologi agama, terdapat sebuah metode yang diajarkan guna mengajak peneliti untuk dapat berbaur dan bersikap cair di lokasi penelitian, yaitu metode Epoche Edmund Husserl. Di kelas, metode Epoche ini diajarkan kepada mahasiswa sebagai upaya untuk menuju sikap inklusif beragama dalam konteks beragama di Indonesia yang beraneka ragam ini.

Epoche berasal dari bahasa Yunani yang artinya adalah “menempatkan dalam tanda kurung” atau “menunda dan menangguhkan”. Apa yang harus diberi tanda kurung atau ditunda tersebut? Jika kita memasuki sebuah lokasi yang memiliki aspek budaya dan agama yang berbeda, maka segala yang sifatnya subjektif diberi tanda kurung terlebih dahulu agar kita dapat memahami budaya yang sedang kita jumpai ini.

Dalam keseharian, saya sebagai seorang Sunda muslim memaknai janur kuning atau bunga-bunga sebagai hal yang bersifat biasa saja, atau  tidak memiliki nilai sakral. Namun, begitu menjumpai pemaknaan yang berbeda pada benda yang sama, hal ini menerbitkan sebuah penghormatan. Di sisi lain, impresi terhadap benda-benda tersebut merupakan penanda bahwa saya memang tinggal dalam konteks budaya agraris dengan pemaknaan yang berbeda-beda. 

Oleh karena itu, saya dapat memahami tentang alasan munculnya perasaan prihatin ketika menjumpai canang yang tergilas kendaraan atau terinjak. Sebagai tamu di Bali yang notabene nilai-nilai agama dan budayanya berbeda, maka baik sikap maupun penilaian terhadap segala hal yang sakral haruslah dijaga. Lebih lanjut, proses untuk berbaur dengan nilai-nilai sakral agama Hindu tersebut termasuk ke dalam reduksi fenomenologis. 

Proses untuk memahami sakralitas umat Hindu semakin terasa ketika saya sudah tinggal untuk beberapa hari di rumah kawan kenalan saya yang terletak di desa Megati, Tabanan. Hal ini dimulai dari tata ruang yang sakral. Artinya, ruang-ruang ditata sedemikian rupa terkait erat dengan ritual harian maupun upacara keagamaan yang lebih besar, seperti Galungan misalnya. Ornamen-ornamen rumah pun tidak lepas dari nilai-nilai keagamaan. Dalam gelombang segala sesuatu yang serba sakral ini, saya merasa energi religi tersebar di segala aspek. Rasa syukur tak terkira karena tinggal di desa umat Hindu, bagi seorang muslim seperti saya yang terbiasa tinggal di lingkungan muslim di Bandung, merupakan sebuah kesempatan yang mahal dan sangat berharga.***

Author Profile

Kurniasih, S.S., M.Hum.
Kurniasih, S.S., M.Hum.
Pengkaji Budaya. Meraih gelar Magister Humaniora dari Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Aktif sebagai periset dan penulis dalam isu religi dan budaya. Saat ini berprofesi sebagai dosen di Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Jawa Barat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *