Takdir,
bahwa engkau hanya sebatas sarana,
bagi perubahan besar Pulau Jawa,
menang dan kalah tak bisa diukur dalam rentang sesaat
dalam garis hidupmu yang penuh gejolak,
satria lelana yang menempuh aneka derita
perang besar yang mengubah konstelasi dunia,
juga menggubah epos sang anak Jawa
kuasa dunia bukan tujuannya
ia berperang demi tegaknya hukum agama
di tengah zaman edan, jungkir baliknya tatanan
kendati berakhir sendirian, dalam kerangkeng tahanan
tak jadi soal, karena Gusti Allah sebagai tujuan.
Manakala di tingkat Sekolah Dasar, pada pelajaran menggambar, terutama tentang pahlawan Nasional, hampir selalu saya akan mengambil wajah dan menggambar sang Pangeran Diponegoro. Bukan karena apa, raut wajahnya yang saya suka, disamping kemudahan tangan untuk mengikuti garis lekuk kontur keseluruhan gambarannya. Ada karekter yang khas dari gambaran wajah Sang Pangeran, yakni tulang pipinya yang menonjol dengan tatapan mata yang dalam, khas seorang Scorpio, sosok perenung dan misterius.
Menggali kisah hidup sang Pangeran, terutama dalam kisah Otobiografinya, yang tertuang dalam babad Dipanegara, kita akan dihadapkan pada suasana zaman kala beliau hadir, sekaligus suasana kebatinan sang Pangeran. Suasana yang penuh warna kisah, gejolak, keheningan dan kerinduan spiritualnya.
Sang Pangeran adalah anomali zaman itu. Padanya bermuara sekian kontradiksi. Ia berdarah ningrat tapi menghabiskan masa kecil dalam kehidupan rakyat biasa. Ia mewarisi dan menggemari kebudayaan jawa yang adiluhung, tapi sekaligus besar dalam asuhan para Kyai di pesantren-pesantren. Ia tertib dalam mengelola administrasi wilayah, tapi tidak mau diangkat menjadi Raja, dimana kesempatan itu datang kedua kali. Kontradiksi yang kuat adalah kehalusan akan rasa sastranya, yang membuat ia takut melihat darah dan orang mati, tapi harus mengobarkan perang besar yang berdampak ke sepertiga penduduk Jawa.
Sesuai namanya, Dipanegera, Dipa adalah “penyebar pencerahan hidup” dan negara adalah wilayah. Ia cukup pantas menyandang gelar tersebut: sebagai sosok yang memberikan pencerahan hidup dan kemakmuran lahir bathin bagi negara/wilayah.
Tegalrejo adalah visi dan aspek praktis buat Pangeran, tentang bagaimana sebuah wilayah dikelola. Di situlah kampung halaman utamanya, meski bukan tempat kelahirannya. Tempat ia menghabiskan masa anak-anak dan menjelang dewasanya di sana.
Tegalrejo adalah wilayah yang dibanguan oleh nenek buyutnya (ibu dari kakeknya), Ratu Ageng. Membayangkan Tegalrejo adalah membayangkan sebuah wilayah desa pertanian yang damai, ada rumah yang dibangun dari batu yang cukup tinggi, dengan pekarangan yang luas dan kebun aneka buah dan sayur. Di pekarangan tersebut ada kolam ikan dengan beberapa sangkar burung. Kegemarannya dan keterikatannya kepada alam, aneka pengetahuan dan sastra, dan juga dunia spiritual membuatnya cukup piawai mengelola lingkungannya di Tegalrejo. Kehidupan agama cukup semarak. Beberapa pesantren dan kyai-kyai sekitaran Tegalrejo menjadi guru yang demikian dihormatinya. Ia juga membuat pendopo di sekitar rumah, tempat berkumpulnya masyarakat dan para ulama untuk bermusyawarah, di samping dibangun juga panggung-panggung, ruang-ruang budaya tempat aneka kisah pertunjukkan wayang digelar.
Suasana alam sangat digemarinya, ia demikian pandai mengelola wilayah pertanian dan perkebunan di Tegalrejo, karena berkebun dan bertani adalah kegemarannya. Ah engkau memang penikmat kehalusan dan keindahan sastrawi, juga pencipta ulung akan gambaran surgawi.
***
Pemahaman akan ketetapan dan takdir Gusti Allah adalah bagian dari rukun iman. Pemahaman tentang ini, seringkali butuh pandangan yang menyeluruh, butuh kelengkapan, alpha-omega dari kisah-kisah. Memahami kadar diri adalah bagian dari keimanan ini, yang mana kita berperan dalam sebuah lakon yang tergelarkan. Kebenaran dan kejahatan harus dipandang hitam putih, tapi pihak yang seolah memerankan kebenaran dan kejahatan, tak bisa dipandang hitam putih.
Lakon Pandawa dan Kurawa adalah pemisalan yang lugas akan hal ini. Demikian juga sang Pangeran penggemar wayang ini memahami rumusan ini.
Arjuna, adalah sosok identifikasi dirinya. Ksatria panengah Pandawa yang dalam lakon carangan disamping kehalusan sastrawi nya, juga memiliki kelemahan utama : godaaan perempuan. Identifikasi akan sosok Arjuna dari Sang Pangeran, sekaligus menggambarkan bahwa jalan hidupnya sejajar dengan lakon kisah Arjuna, yang biasa ia daras kisahnya dalam Arjuna Wijaya, Arjuna Wiwaha, Bima Kawha dan Sastra Rama.
Imaji Arjuna bagi Sang Pangeran adalah juga menyertakan kesadaran akan kelemahan utamanya : ketakutan melihat kematian dan darah, juga kelemahannya terhadap perempuan. Dalam kisah Babadnya, ia membuat pengakuan : bahwa demikian kuatnya hasrat dan godaan terkait perempuan ini, ia harus menangkalnya dengan aneka laku spiritual dan berkelana ke pesantren-pesantren.
***
Hari itu, sang fajar baru menyingsing, 11 Nopember 1785 dalam penanggalan Masehi, seorang anak Sultan Hamengku Buwono III (yang saat itu masih putra mahkota) dari garwa ampeyan (selir) lahir. Waktu kelahirannya demikian tepat, manakala musim hujan hendak naik ke puncaknya, dan di waktu fajar yang baru menyingsing. Waktu dengan karakter basah dan dingin yang kuat, kelak membentuk karakternya yang feminim (yin) dan sangat “perasa”.
Sesaat setelah kelahirannya, bayi merah ini dibawa kehadapan kakek buyutnya, Sultan Hamengku Buwono I. Sang kakek buyutnya sudah membaca bahwa bayi ini memiliki potensi spiritual cukup kuat dan meramalkan bahwa kelak bayi ini akan membuat kerusakan besar bagi pihak kompeni. Kerusakan yang melebihi apa yang diakibatkan diri Sang Kakek Buyut pada Perang Giyanti.
Ratu Ageng, sang nenek buyut, memutuskan untuk membawa Pangeran yang saat itu berusia 7 tahun, ke Tegalrejo. Bagi Ratu Ageng, kehidupan moral keraton, saat itu demikian bobrok dan tidak baik bagi pendidikan sang Pangeran.
Membayangkan sosok Ratu Ageng, adalah membayangkan sosok perempuan tua dengan karakter keras dan teguh. Beliau adalah keturunan dari sultan Bima di Sumbawa, Abdul Kahir I, yang menggali ilmu agama sampai Pulau Jawa.
Ratu Ageng demikian memperhatikan pendidikan agama Sang Pangeran. Tidak sekadar sambil lalu, seperti umumnya para ningrat Kraton, pendidikan sang Pangeran dilakukan secara intensif, alias nyantri di tempat ulama-ulama besar saat itu.
Tidaklah aneh, sang Pangeran menggemari pengetahuan agama, terutama perihal tasawuf dan fiqh. Ia menggali betul Kitab Tuhfah, yang saat itu menjadi menjadi rujukan Tarekat Syatariyyah, perihal ajaran martabat tujuh. Ia juga akrab dengan kitab-kitab fiqh mazhab syafii di antaranya Kitab Taqrib dan Lubab al Fiqh. Di samping itu, sang Pangeran mendalami juga kitab pegangan para Raja : Nasihat Al Mulk, Fathul Mulk, Tajussalatin dan Bustanusalatin, selain kitab pegangan raja yang berbahasa dan bersastra Jawa.
Apa yang dilakukan di Tegalrejo adalah manifestasi dari menata wilayah sesuai konsep yang dipelajarinya dalam kitab-kitabnya.
Konon katanya, ia juga menguasai ilmu firasat (cara membaca karakter wajah lawan bicara) sesuai anjuran dalam Kitab Tajussalatin.
Begitulah, Tegalrejo yang damai dan makmur, penuh dengan perbincangan ilmu agama di pendopo rumahnya. Pertunjukkan budaya selalu semarak, perdagangan dengan Pantai Utara dan Pulau Sumbawa juga terjalin baik, pasar-pasar selalu ramai. Berlawanan kondisinya istana yang dianggap sang Pangeran sebagai bobrok dari segi moralitas. Hal tersebut yang membuat sang Pangeran hampir tidak pernah menginjakkan kaki di Kraton, kecuali pada acara gerebeg mulud saja, di mana upacara keagamaan dilangsungkan.
Kondisi ini berlangsung sampai adanya titik balik. Transisi zaman yang menggubah dan menjungkir balikan semuanya
Author Profile
Latest entries
- Lampah25/03/2024Tiga Serangkai Makassar
- Maos24/03/2024Sedulur Papat Kalima Pancer
- Uswah24/03/2024Sang Pangeran
- Maos24/03/2024Imaji Kayu Manis