Aki Daud

Satu diri, keseluruhan tubuh beserta ekspresi dan emosi, mungkin juga gambaran bathin, terwakili raut wajah. Raut wajah tergambarkan dalam sorot mata. Memandang potret seorang tokoh Sunda, Haji Hasan Mustofa, mengingatkan saya pada sosok yang memberi kesan kuat pada diri saya. Sosok sederhana –basajan– mewakili sosok kebanyakan awam, bernama Aki Daud. Saya memanggilnya demikian, karena memang dia adalah adik dari nenek saya. Nenek dari pihak ibu.

Kota Tasikmalaya di kaki Gunung Galunggung, tempat saya lahir dan tumbuh, memiliki lebih dari empat ribu bukit yang tersebar di sekelilingnya. Bukit-bukit tersebut terbentuk dari letusan Galunggung semasa purba dan letusan terbaru sekitar tahun 1880-an. Di Tasikmalaya pula ada sekitar empat ribu pesantren, dan bahkan lebih, yang tersebar di banyak desa dan kampung.

Kontur geologi kaki Galunggung, berbukit dan sungai yang menyebar menjari, membentuk penamaan wilayah yang tak jauh dari sungai dan bukit. Bantarsari, nama desa saya bermukim, berasal dari bantaran sekitar Sungai Cimulu. Lalu, di sekitarnya ada kampung bernama Lewo dan Lengo, suatu penamaan yang kurang lebih sebagai tanah yang berlumpur. Ada Pasir Angin, penamaan yang mengidentifikasi bukit. Leuwi Kidang yang berasal dari kata Leuwi yang berarti lubuk atau bagian sungai yang dalam, dan Kidang bermakna rusa. Ranca Panjang dengan Ranca yang merupakan istilah untuk rawa. Belum lagi nama-nama yang dimulai dari Ci yang bermakna air, yaitu: Cibugelan, Cilisung, Cikurubuk, Cibalanarik, Cipatujah, dan lain sebagainya.

Tasik acapkali disebut kota santri. Disebut pula sebagai kota seribu bukit. Pusat aktivitas keagamaan tersebar di pesantren, kaum, tajug, dan madrasah. Di tempat-tempat tersebut, ada pusat tokoh yang menjadi jangkar keilmuan Islam. Ada banyak kyai, ajengan, ustadz, atau pun orang biasa yang menjadi magnet pembelajaran agama bagi masyarakat di sekitarnya. Pada masa itu, pendidikan non-formal yang berpusat di tajug dan madrasah menjadi andalan masyarakat untuk mendalami agama. Tokoh-tokoh tersebut seringkali bukan pendidik jalur formal, tapi orang kebanyakan dengan aneka ragam profesi yang juga mewakili awam.

Saya sendiri mulai belajar alif-ba-ta dari seorang penarik beca bernama Mang Memed. Lanjut belajar ke Mang Hakim, seorang petani dan pedagang. Mulai belajar Kitab Kuning kepada seorang tukang bangunan bernama Mang Undang. Belajar qiroat kepada Mang Entis, seorang penjual nasi, dan kepada Mang Hasballah, seorang tukang ojeg. Saya juga belajar lanjutan kitab kepada Mang Memod yang menjadi sesepuh Masjid Kaum Lengo, seorang penjual kue, putra Mama Haji Uli, seorang tokoh agama tempat Aki Daud nyantri. Kadang saya mengikuti bandongan sorogan kepada KH Endang di Masjid Kaum Lewo, untuk ilmu ilmu tafsir dan hadits, yang dilanjut kepada Ajengan Emus, menantu KH Endang untuk ilmu mantiq dan balaghoh. Sempat juga mengikuti kajian hikmah, yang saat itu saya tidak paham betul, kepada Haji Aceng di wilayah tengah Lewo Sari. Bagi saya sendiri, setiap ajengan, ustadz, dan kyai mempunyai spesialisasinya masing-masing. Saya pun bisa nyantri ngalong dengan leluasa. Bisa datang kapan saja dan menikmati paparannya kapan pun dengan jadwal rutin.

Dinul Islam, Addin, dibentuk dari tiga pilar. Addin tidak sekadar keilmuan, tetapi laku, pikir, dan cara pandang yang bersenyawa dalam nafas keseharian. Ia adalah lelaku amaliah ibadah dan muamalah. Aki Daud, sosok yang saya kenal sekaligus inti tulisan ini, merupakan gambaran keumuman. Saya mengenalnya sebagai penjual kangkung.

Kangkung dan aneka sayuran tersimpan dalam dua pikulan anyaman bambu yang disebut tolombong. Disambungkan dengan rancatan sebagai penyeimbang beban dan dipikul di pundak. Gesekan rancatan bambu dengan pundak dan tolombong, berbunyi ritmis yang khas. Ritmis khas ini pula tercatat di ingatan, sekira saya usia awal SD, tatkala berjalan sepertiga hari lamanya ke rumah Aki Daud.

Tak ada yang aneh di rumahnya. Namun, ada teka-teki pribadi yang cukup terjawab. Ternyata, di rumahnya, ada deratan kitab kuning yang cukup usang. Sebuah jawaban dari bagaimana Aki Daud memberikan koreksi bacaan Alquran tatkala mendengar lantunan ayat yang dibacakan saya atau ibu. Sebuah jawaban bagaimana ia bergegas mengganti baju tatkala mendengar lantunan adzan. Sebuah jawaban atas bagaimana ia dengan mudah mengutip pendapat para jumhur.

Ia ternyata cukup lama nyantri, hampir personal, kepada Mama Uli, di Masjid Kaum Lengo. Ini dikisahkan oleh ibu saya. Dari kisah ibu pula, akhirnya terangkai gambaran utuh sosok Aki Daud.

Seperti ungkapan jumhur ulama, “Hakikat tanpa syariat batal, dan syariat tanpa hakikat kosong.” Setelah menuntaskan kitab-kitab dasar fiqh dan akidah, Aki Daud mulai menggali dan mangaji kitab-kitab tasawuf, terutama karya Al-Ghazali. Kehakikian agama tergali lewat aspek keihsanan, itulah ilmu tasawuf. Tidak sekadar ilmu di dalamnya, tapi juga ada amaliah wirid dan semacam riyadhoh. Ada penempuhan jalan untuk tazkiyatun Nafs.

Dari menggali ilmu dan melakoni amaliah, Aki Daud mengalami semacam “keterbukaan”. Ia mengalami dan melihat apa yang tidak dilihat oleh orang umum. Ia sering tampak kebingungan. Sampai akhirnya, nenek uyut berihtiar berupaya untuk membuatnya “sembuh”.

Kuring mah cageur, teu nananon (Aku sehat, tak perlu dirisaukan),” begitu katanya. Ia hanya tampak kebingungan. Ada keterbukaan yang tak ia pahami. Sayangnya, ia belum menemukan sosok yang bisa menjelaskan apa yang ia alami dan lihat.

Allah Maha Rahman. Apa yang Aki Daud alami perlahan pudar. Ia kembali kepada kesehariannya yang wajar. Namun, jejak itu tampak nyata lewat sorot matanya. Ada sorot mata kerinduan dan keperihan. Bukan tentang kehidupan, karena saya meyakini kesabaran dan ketabahannya. Namun, perihal kerinduan akan jalan pembimbingan dari guru sejati.

***

Memasuki tahun 90-an, ada pergeseran format pesantren. Pesantren bergerak ke arah pendidikan formal. Hampir semua pesantren mengadopsi, atau melakukan pencampuran, dengan kurikuluk sekolah formal. Perjenjangan juga mengikuti perjenjangan sekolah formal. Lantas, bagaimana dengan, konsep “nyantri ngalong”, di mana terdapat kajian yang intens, mendalam, dan non-formal untuk masyarakat awam? Sepertinya ikut memudar. Jangkar-jangkar keilmuan yang bukan dari garis sekolah formal ikut hilang seturut batasan usia. Saya merasakan kehilangan suasana tersebut.

Zaman sudah berubah. Namun, lekatan ingatan akan konsep pesantren, bagi saya pribadi, adalah tempat awam menekuni kajian agama dengan intensif. Segi-segi agama yang luas dan dalam disampaikan di dalamnya. “Konsep pesantren” adalah lembaga yang kajian agama dan keseharian menyatu serta bersenyawa menjadi nafas hidup keseharian. Bukan lembaga menara gading yang tak tersentuh awam.

Mengingat kata “pesantren”, yang tergambar adalah sosok Aki Daud. Gambaran awam, umum, orang biasa yang berkegiatan muamalah dan bermasyarakat secara lumrah pada di siang hari. Namun, pada waktu-waktu tertentu, sore dan malam, beliau mengkaji keilmuan agama secera intens dan mendalam dengan penjenjangan yang terstruktur, bahkan melakoni laku suluk. Pesantren informal yang berpusat di tajug-tajug dan madrasah-madrasah setiap kampung yang menjadi cikal bakal zawiyah-zawiyah.

Sependek pemahaman pribadi, bukankah Kanjeng Rasulullah SAW diutus untuk menyapa semua lapisan? Dan dari sejarah, kita belajar bahwa para Nabi dan Rasul berada pada pihak masyarakat terpinggirkan dan terlemahkan secara struktur.***

Author Profile

Deden Himawan
Pengkaji Kebudayaan dan Khazanah Suluk Nusantara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *