Syair Perahu, Sebuah Risalah Tempat Berpindah

Berbicara tentang Syekh Hamzah Fansuri, Syair Perahu merupakan salah satu karyanya yang cukup populer pada milenium ketiga ini. Tiga bait pertamanya sempat didendangkan oleh Rafli Kande, penyair kenamaan Aceh. Dia mendendangkan Syair Perahu torehan Syekh Hamzah Fansuri dalam album Ainal Mardhiah yang dirilisnya pada tahun 2003 silam.

Di tingkat akar-rumput, syair ini banyak dilantunkan oleh masyarakat, termasuk para pemuda. Tengoklah syair ini di Youtube, maka kita bisa mendapati banyak video para anak dan remaja yang melantunkan guratan Hamzah Fansuri ini. Umumnya, mereka melantunkannya sebagai bagian dari tugas sekolah.

Secara lengkap, Syair Perahu memiliki 42 bait yang masing-masing bait terdiri dari empat baris. Abdul Hadi WM, pengkaji sastra dan budaya Indonesia, mengutip syair ini dari disertasi milik J Doorenbos yang berjudul De Geschriften van Hamzah Pansoeri. Bait-bait Syair Perahu ini beliau publikasikan dalam buku Hamzah Fansuri, Penyair Sufi Aceh terbitan tahun 1985.

Kita bisa melihat karakteristik syair Syekh Hamzah Fansuri yang ditutup dengan bunyi vokal yang sama pada akhir setiap barisnya pada setiap baitnya. Kecermerlangannya dalam sastra bisa tampak dengan pemilihan kata-katanya yang presisi, baik dari segi bunyi maupun makna. Tengoklah bait kedua Syair Perahu yang bunyi penutup barisnya konsisten dengan makna yang tetap presisi:

Wahai muda, kenali dirimu,
ialah perahu tamsil tubuhmu,
tiadalah berapa lama hidupmu,
ke akhirat jua kekal diammu.

Syair Perahu – Hamzah Fansuri

Bagi masyarakat Indonesia hari ini, sebagian besar bait Syair Perahu bisa dipahami secara mudah. Banyak kata-kata yang sudah kita kenal hari ini, tergurat pada setiap barisnya. Padahal, ketika Syekh Hamzah Fansuri menuliskannya kala itu, masyarakat melayu perlu usaha keras untuk memahaminya.

Tentunya, fenomena ini memperlihatkan keberhasilan Syekh Hamzah Fansuri yang memasukkan istilah-istilah dari bahasa Persia dan Arab ke dalam bahasa Melayu. Hal inilah yang membuat bahasa Indonesia hari ini ramah bagi muslim menimba ilmu pengetahuan agamanya. Kita bisa dengan mudah menerjemahkan “Mu’min” sebagai orang yang beriman. Tentunya, Iman yang menurut Imam alGhazali berupa cahaya, bukan yang hanya sekedar percaya.

Abdul Hadi WM menyebut fenomena yang dilakukan Syekh Hamzah Fansuri ini sebagai “Islamisasi bahasa Melayu”. Bagaimana pun, Islamisasi bahasa sama dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaannya. Dampak lainnya, derajat bahasa Melayu menjadi bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan. Hal ini membuatnya mampu mengungguli bahasa Nusantara yang lebih dulu berkembang, seperti bahasa Jawa misalnya. Selanjutnya, derajat ini membuat pemerintah kolonial Belanda menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa administrasi sekaligus pengantar di sekolah-sekolah pemerintah.

Kembali ke Syair Perahu. Bila kita coba telusuri, Syair Perahu terdiri dari enam bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Bagian pertama merupakan pembuka yang merupakan intisari dari seluruh bagian, atau biasa disebut Ummul Kitab, atau Induk Kitab. Setidaknya, tiga bait pertama merupakan Induk Kitab, sedangkan 39 bait sisanya merupakan Kitab Penjelasnya.

Bagian kedua merupakan penjabaran dari pembangunan perahu untuk mulai menyusuri lautan. Syekh Hamzah Fansuri dengan lihainya menjelaskan tentang perangkat yang harus disiapkan untuk berlayar dan juga bahaya yang akan menghadang kala mulai berlayar.

Sedangkan bagian ketiga merupakan penjabaran dari laut luas yang akan diarungi oleh perahu. Berbeda dengan bagian kedua yang masih berbicara tentang potensi bahaya dan kegunaan perangkat di perahu, pada bagian ketiga Syekh Hamzah Fansuri sudah menjabarkan tentang karakter lautan yang akan dilaluinya.

Pada bagian keempat, Syekh Hamzah Fansuri menjabarkan setiap bagian perahu dengan berbagai aspek dalam agama. Misalnya saja baris “Istighfar Allah akan layarnya” yang memperlihatkan pentingnya permohonan ampun kepada Allah ta’ala untuk menggerakan perahu kita. Tentunya, bagi para nelayan, pemaparan perahu dalam syair ini bisa membangun relevansi antara dirinya dan agama Islam.

Bagian selanjutnya dipaparkan tentang keadaan di dalam kubur. Syekh Hamzah Fansuri seperti mengingatkan manusia yang selesai berlayar di dunia akan berhadapan dengan alam Barzakh yang sungguh amat berat. Dikatakan pada sebuah bait tentang kengerian yang menanti di alam kubur, “Sekarang di kubur tempatmu kelam, tiada berbeda siang dan malam.”

Terakhir, Syekh Hamzah Fansuri mengulas soal La Illaha Ilallah sebagai salah satu puncak perjalanan Insan. Kalimat tauhid tersebut sebagai “Kata yang teguh” dan juga “Tempat musyahadah”. Bagian keenam ini seperti posisi puncak yang berhasil didapatkan bila sebuah perahu berhasil mempersiapkan perangkatnya dan berlayar hingga ke pulau tujuannya. Dalam konteks perjalanan jiwa, bagian ini memperlihatkan posisi insan yang sudah mencapai Makrifat dan juga Hakikat.

Lalu, bagaimana dengan perahu kita semua? Sudah kah kita mempersiapkannya? Jika belum, segera siapkan, dan barangkali Syair Perahu ini bisa jadi salah satu inspirasinya. Dan semoga kita bisa mulai mengeksplorasinya pada waktu-waktu mendatang.***

Author Profile

Yudha P, Sunandar
Lahir dari seorang ayah penggemar wayang golek dan pengidola dalang Sunda asal Bandung, Jawa Barat. Senang menjelajahi berbagai wilayah di Indonesia dan menelusuri berbagai khazanah di dalamnya. Berpengalaman sebagai Jurnalis dan Event Management. Saat ini, sedang menekuni mitologi Mahabarata dan khazanah Syekh Hamzah Fansuri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *