Hamzah Fansuri, Sang Bapak Bahasa Indonesia

Inilah gerangan suatu madah,
mengarangkan syair terlalu indah,
membetuli jalan tempat berpindah,
di sanalah i’tikat ‘ diperbetuli sudah

Wahai muda, kenali dirimu,
ialah perahu tamsil tubuhmu,
tiadalah berapa lama hidupmu,
ke akhirat jua kekal diammu

Hai muda arif-budiman,
hasilkan kemudi dengan pedoman,
alat perahumu jua kerjakan,
itulah jalan membetuli insan.

Syair Perahu – Hamzah Fansuri

Rasanya, masyarakat Modern Indonesia mampu memahami kata demi kata yang tertera pada syair tersebut. Padahal, tiga bait pertama Syair Perahu tersebut berasal dari Sumatera bagian utara pada abad ke-16, atau sekitar tahun 1500-an. Lalu, bagaimana syair-syair tersebut terasa dekat dengan masyarakat Nusantara hari ini?

Demikianlah syair gubahan Hamzah Fansuri tersebut menggema di seluruh Sumatera, bahkan sebagian pulau Jawa pada masanya. Pada saat yang hampir bersamaan, Pulau Jawa sedang kedatangan rombongan Wali Sangga yang digawangi oleh Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga. Hamzah Fansuri sendiri merupakan ulama Kerajaan Aceh Darussalam, sebuah kerajaan Islam di tanah Aceh sana. Adapun, Wali Sangga merupakan dewan kewalian yang sedang berjibaku untuk mengenalkan Islam ke masyarakat di tanah Jawa.

Barangkali, kita bisa dengan mudah memahami syair-syair di atas pada hari ini. Padahal, ketika Hamzah Fansuri menggubahnya sekitar 450 tahun lalu, masyarakat begitu asing dengan kata-kata yang tersemat di dalamnya. Mereka menggunakan bahasa Melayu yang sangat berbeda dengan bahasa Indonesia saat ini.

Hamzah Fansuri merupakan tokoh pembaharu bahasa Melayu kala itu. Andries Hans Teeuw, pakar sastra dan budaya Indonesia asal Belanda, menokohkan Hamzah Fansuri sebagai Bapak Bahasa Indonesia. Pasalnya, bahasa Indonesia hari ini berakar dari berbagai karya torehan Sang Syekh.

Dalam buku Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan terbitan tahun 1994, Andries Teeuw menyimpulkan tiga corak pembaharuan Hamzah Fansuri terhadap bahasa Indonesia. Pertama, unsur Individualitas yang memuat nama sang pengarangnya. Padahal, puisi-puisi Melayu lama kala itu bersifat anonim.

Kedua, Hamzah Fansuri melahirkan puisi baru yang berdasarkan puisi Parsi dan menyesuaikannya dengan keistimewaan bahasa Melayu. Adapun corak ketiga, dan ini dinilai sebagai keistimewaan Sang Syekh, Hamzah Fansuri banyak menyerap kata-kata bahasa Arab yang disusun secara kreatif. “Syekh Hamzah Fansuri bukannya menerjemahkan bahan-bahan Arab, tetapi mengintegrasikannya ke dalam syair yang diciptakannya, yang dengan itu bahasa Melayu baru dapat terlahirkan,” demikian catatan sosok bernama pena A Teeuw.

Berkat Hamzah Fansuri, sekitar sepertiga kata dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Arab. Berkat Sang Syekh pula, kita bisa dengan mudah memahami istilah-istilah dalam alQur’an. Misalnya saja: Iman, Amal Salih, dan Takwa yang diserap dari bahasa Arab.

Kita bisa dengan mudah mengatakan bahwa “Iman itu cahaya”, sedangkan “Takwa adalah perbuatan Amal Salih orang-orang yang beriman”. Tentunya, berbicara tentang khazanah Islam ini akan sulit bila menggunakan bahasa Inggris. Bukan hanya sulit, tetapi dangkal.

Dalam kitab Zinat al-Wahidin, Hamzah Fansuri menyampaikan kesengajaannya untuk menulis kitab dengan menggunakan bahasa Jawi, sebuah julukan untuk bahasa Melayu yang berkembang di Nusantara pada saat itu. Tujuannya, agar orang-orang di Nusantara bisa paham tentang istilah-istilah dalam Islam. “Insya Allah Ta’ala supaya segala hamba Allah Ta’ala yang tiada tahu akan bahasa Parsi dan bahasa Arab dapat membicarakan Dia dalam kitab (ini),” demikian tulis Sang Syekh.

Tak banyak orang mengetahui lebih dalam tentang Hamzah Fansuri, termasuk para peneliti sastra dan sejarah Indonesia. Bahkan, makamnya pun tak pernah jelas diketahui, hingga hari ini. Hilangnya kabar tentang Hamzah Fansuri ditenggarai oleh pelabelan “sesat” di Kerajaan Aceh Darussalam paska wafatnya Sang Syekh.

Kala itu, seorang ulama asal India menjadi tokoh agama di Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam waktu singkat, sang ulama berhasil membangun dominasinya kepada raja yang menempatkannya sebagai ulama kerajaan. Pada posisi inilah dia berhasil mengharamkan ajaran Hamzah Fansuri dan membakar seluruh kitab-kitab Sang Syekh yang ada di perpustakaan kerajaan.

Secara lugas, Sayyid Muhammad Naquib al-Attas dalam tesisnya pada tahun 1962, menyebutkan tiga aspek yang membuat sang pembakar dengan mudahnya memusnahkan karya-karya Hamzah Fansuri. Pertama, dia mengalami distorsi terhadap ajaran Sang Syekh. Kedua, Naquib menyebutkan sang pembakar memiliki pemahaman yang kurang akan doktrin Sufi, alQur’an, dan tafsir alQur’an. Aspek ketiga, yang bisa jadi sangat krusial, sang pembakar kurang menguasai bahasa Melayu, sehingga tidak mampu menyelami kedalaman kesadaran linguistik Melayu untuk memahami struktur konseptual simbol-simbol yang digunakan oleh Hamzah Fansuri. “Tampak bagi saya bahwa semua kritik … (sang pembakar) terhadapnya (Hamzah Fansuri) dan dugaan keyakinan yang dikaitkan dengannya tidak benar,” tulis cendekiawan Malaysia yang mengangkat Hamzah Fansuri dalam tesis dan disertasinya ini.

Meskipun sebagian besar karya Syekh Hamzah Fansuri musnah, toh kita bisa menikmati karyanya dalam guratan bahasa Indonesia, seperti pada tulisan ini. Juga menikmati karyanya dalam setiap lisan orang-orang di Nusantara pada hari ini. Dan menikmati pula karyanya dalam terjemahan alQur’an untuk bangsa ini.***

Author Profile

Yudha P, Sunandar
Lahir dari seorang ayah penggemar wayang golek dan pengidola dalang Sunda asal Bandung, Jawa Barat. Senang menjelajahi berbagai wilayah di Indonesia dan menelusuri berbagai khazanah di dalamnya. Berpengalaman sebagai Jurnalis dan Event Management. Saat ini, sedang menekuni mitologi Mahabarata dan khazanah Syekh Hamzah Fansuri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *