Syekh Burhanuddin Ulakan, Merangkum Adat dalam Kasih Sayang Islam

Berbicara tentang Syekh Abdul Muhyi, akan tersemat pula nama Abdurrauf as-Singkili. Sosok yang satu ini merupakan murid dari Syekh Hamzah Fansuri dan penerus perjuangan Syekh Syamsuddin as-Sumatrani. Beliau merupakan ulama besar kerajaan Aceh dan menjadi guru bagi beberapa tokoh tashawuf di banyak daerah lainnya di Indonesia, termasuk Syekh Abdul Muhyi yang berdakwah di Jawa Barat bagian selatan yang kerap dikenal sebagai Priangan Timur.

Menariknya, Syekh Abdul Muhyi dan Priangan Timur memiliki sedikit “kembaran” di Sumatera, seperti semacam “sister dakwah area”. Dialah Syekh Burhanuddin Ulakan yang berdakwah di Sumatera Barat. Disebut “kembaran”, karena kedua ulama ini berguru kepada guru yang sama, Syekh Abdurrauf as-Singkili. Selain itu, wilayah dakwah mereka berada di bagian “bawah-kiri” pulaunya masing-masing. Kesamaan lainnya, baik Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan dan maupun Syekh Burhanuddin di Ulakan, sama-sama membangun pusat pengajaran Islam dan penyebaran agama di areanya masing-masing.

Syekh Burhanuddin Ulakan merupakan ulama sufi asli Sumatera Barat yang hidup dalam rentang waktu abad ke-17. Sampai saat ini, belum ada sejarahwan yang mampu merumuskan periode kehidupannya berdasarkan tahun, baik dalam satuan Masehi maupun Hijriah. Meskipun demikian, Azyumardi Azra menyimpulkan masa hidupnya antara tahun 1646-1692 Masehi. Hanya saja, periode tersebut sangat tidak cocok dengan masa hidup tokoh lainnya dalam perjalanan kehidupan beliau, termasuk para guru Syekh Burhanuddin Ulakan.

Sang Syekh lahir dengan nama kecil Qanun dari pasangan Pampak Pati Karimun Merah dan Puteri Cukup Bilang Pandai. Secara garis keturunan ibu, dia bersuku Guci dari Kuweak di Batu Hampar Putiah di Lereng Merapi. Sedangkan ayahnya berasal dari Guguk Sikaladi Pariangan Padang Panjang kabupaten Tanah Datar. Sedari kecil, Qanun mengecap kehidupan dari keluarga dengan sistem kepercayaan setempat. Ketika berusia sekitar 9 tahun, dia bertarung dengan harimau yang berusaha menerkamnya. Pertarungan ini membuatnya terluka di kaki kiri, sehingga berjalan pincang selama hidupnya.

Ketika berusia 11 tahun, kedua orang tua Qanun memutuskan untuk merantau ke Tapakis Ulakan. Di tempat ini, sebagaimana anak petani pada umumnya, Qanun membantu orang tuanya untuk menggembalakan kerbau. Dari aktivitas ini, beliau bertemu anak sebayanya yang bernama Idris dari Tanjung Medan Ulakan. Tampaknya, pertemanan ini membawa Qanun dan Idris kepada rasa penasaran terhadap ajaran baru dari seseorang Arab berjuluk Tuanku Madinah yang tinggal tak jauh dari desa mereka.

Sang Arab tersebut adalah Syekh Abdullah Arif yang membangun rumahnya di Taluak Busuak Tapakis, di dekat sungai Batang Tapakis. Beliau adalah murid Syekh Ahmad al-Qusyayi di Madinah, yang juga guru Syekh Abdurrauf as-Singkili. Kehadirannya ke tanah Minang atas instruksi gurunya untuk mengajarkan Islam ke negeri di timur yang air dan tanahnya memiliki berat yang sama bila ditimbang. Sebagai takarannya, Sang Guru memberikan dua botol kosong sebagai kawan perjalanan Syekh Abdullah Arif.

Singkat cerita, Syekh Abdullah Arif mengarungi lautan untuk memenuhi pesan gurunya. Dia mengunjungi daratan India, Maladewa, Andaman, termasuk Aceh dan Barus. Namun, tak satu pun air dan tanah yang sesuai dengan gambaran gurunya. Ketika mencapai Durian Kapeh Tiku, kapal yang ditumpangi Syekh Abdullah Arif terhempas badai dan pecah, hingga dia terdampar di daratan. Setelah pulih, beliau meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki selama berhari-hari. Hanya saja, perjalanan tersebut harus terhenti ketika Syekh Abdullah Arif merasa kelelahan yang amat sangat kala tiba di muara Sungai Batang Tapakis.

Karena merasa ada sesuatu di sungai tersebut, Sang Syekh pun menyusuri hulunya dengan rakit hingga tiba di pertemuan anak sungai Batang Gasia di atasnya. Ketika Syekh Abdullah Arif mencoba menelusuri salah satu anak sungai, dia kembali ke titik pertemuan dua anak sungai sebelumnya. Ketika mencobanya kembali, terjadi pula hal yang sama. Akhirnya, beliau pun naik ke atas tebing lalu mengambil air dan tanahnya untuk dimasukkan ke dalam botol. Hasilnya, berat keduanya sama, seperti yang digambarkan Syekh Ahmad al-Qusyayi.

Merasa telah menemukan tempat yang diamanahkan gurunya, Syekh Abdullah Arif pun memutuskan untuk membangun surau kecil di Taluak Busuak Tapakis dan menetap di sana. Di tempat ini, beliau banyak mengajarkan Islam kepada para pemuda yang tertarik dengan ajaran baru bagi mereka. Di surau sederhana kecil ini pula, beliau bertemu dengan Burhanuddin kecil beserta temannya yang kelak berkontribusi besar dalam aktivitas dakwah di Sumatera Barat.

Di bawah asuhan Syekh Abdullah Arif, Qanun masuk Islam dan mempelajari ajarannya dengan lebih dalam selama tiga tahun karena Sang Syekh tutup usia. Menjelang kewafatannya, beliau berpesan untuk Idris dan Qanun berguru ke saudara seperguruannya, Syekh Abdurrauf as-Singkil di Aceh. Syekh Abdurrauf as-Singkil sendiri masih di Madinah kala wafatnya Syekh Abdullah Arif. Namun, Sang Guru, Syekh Ahmad Qusyasi menyuruhnya untuk kembali ke Aceh dan menerima seorang murid yang salah satu kakinya agak tinggi ketika berjalan.

Perjalanan Qanun remaja ke Aceh memerlukan perjuangan yang besar lantaran harus menembus jalan yang jauh, berat, serta dipayungi rimba belantara. Beruntung, di tengah jalan, Qanun bertemu keempat remaja Minang lainnya yang hendak berguru ke Syekh Abdurrauf as-Singkil di Aceh. Meskipun perjalanan masih tetap jauh dan berat, tetapi kawan berpetualang membuatnya menjadi lebih ringan dan aman.

Qanun dan keempat remaja Minang lainnya berguru di Singkel dalam nuansa ajaran Thariqah Syatariyah selama tiga tahun lamanya. Selama itu pula, Syekh Abdurrauf as-Singkil menempa para muridnya dengan ujian-ujian yang berat, termasuk Khalwat di dalam gua batu di daerah pedalaman hutan belantara di Kutaraja Darusalam. Setelahnya, mereka berbondong-bondong pindah ke Aceh lantaran Syekh Abdurrauf as-Singkil menjadi Mufti kerajaan Aceh.

Tidak ada keterangan yang seragam tentang lamanya Qanun dewasa berguru kepada Syekh Abdurrauf as-Singkil. HMB Leter menyebut 28 tahun, Mahmud Yunus menyebut angka 21, ada juga yang menyimpulkan selama 18 tahun. Meskipun demikian, seorang Wali pada zaman klasik biasanya mendapatkan amanah kewaliannya pada usia 40 tahun. Kemungkinan, pada satu hari pada usia 40 tahun inilah, Syekh Abdurrauf as-Singkil memandang bahwa Qanun dewasa sudah selesai belajar kepadanya. Beliau pun menyuruhnya untuk kembali ke tanah Minang guna berdakwah kepada masyarakat Sumatera Barat dan menyematkan nama “Burhanuddin”, yang bermakna “pembela agama”. Adapun daerah “Ulakan” di belakang namanya menyiratkan tentang wilayah dakwahnya.

Syekh Burhanuddin kembali ke Minangkabau ketika kerajaan Aceh dipimpin oleh Ratu Sultanah Tajul Alam Safiatuddin. Kehadiran Sang Syekh berada di bawah pengawalan kerajaan Aceh yang ada di Minangkabau dengan panglimanya bernama Khatib Sangko. Sebelum masuk ke daratan utama Minang, mereka beristirahat sejenak di Pulau Angso Duo di wilayah Pariaman.

Bagi kerajaan Aceh, wilayah Pariaman memiliki tiga peran strategis, yaitu: basis kekuatan militer, pusat perdagangan, dan pusat pengembangan agama Islam di pesisir pantai barat Sumatera. Oleh karena itu, kehadiran Syekh Burhanuddin Ulakan dengan pengawalan yang cukup besar langsung ditolak empat panglima adat Minangkabau. Mereka khawatir Sang Syekh menghapuskan adat dan menggantinya dengan agama Islam.

Penolakan ini direspon keras oleh Khatib Sangko yang berujung kepada pertempuran di antara kedua belah pihak. Pada pertempuran pertama, tiga panglima adat Minangkabau tewas dengan seluruh pasukan kerajaan Aceh meninggal, kecuali Khatib Sangko. Kerajaan Aceh langsung mengirimkan bantuan pasukan yang berhasil mengalahkan panglima adat terakhir Minangkabau pada pertempuran berikutnya.

Idris, teman Qanun muda, langsung menyambut Syekh Burhanuddin dan membuatkan tempat peristirahatan di tanah asalnya: Tanjung Medan, Ulakan, Pariaman. Dari tempat inilah, Sang Syekh membuat Surau sebagai tempat tinggal sekaligus ruang belajar agama Islam kepada masyarakat di sekitarnya. Syekh Burhanuddin Ulakan pun menyempatkan nama baru bagi Idris, yaitu: Khatib Mojolelo.

Seiring berjalannya waktu, Surau di Tanjung Medan, Ulakan, berkembang menjadi lembaga pendidikan dan keagamaan pertama di Minangkabau yang selanjutnya menjadi ujung tombak pengislaman masyarakat Minangkabau. Di dalamnya, Syekh Burhanuddin Ulakan menerapkan empat fungsi surau, yaitu: tempat ibadah, tempat belajar Islam, pusat kegiatan Thariqah Syatariyah, dan lembaga kemasyarakatan. Secara konsisten, keempat fungsi ini diturunkan ke surau-surau lainnya yang dibangun di tanah Minang.

Di sekitar surau utama pun mulai tumbuh surau-surau kecil guna menampung murid-murid yang belajar Islam ke Syekh Burhanuddin Ulakan. Umumnya, mereka berasal dari berbagai daerah di Sumatera, termasuk: Minangkabau, Riau, dan Jambi. Kondisi ini membuat Ulakan dijuluki sebagai Negeri Seratus Surau.

Guna mengembangkan jaringan dakwahnya, Syekh Burhanuddin Ulakan memanggil keempat teman dekatnya yang sama-sama belajar di Aceh. Keempatnya diminta untuk membuat surau di wilayahnya masing-masing sebagai bagian jaringan dakwah Islam berbasiskan Thariqah Syatariyah. Keempatnya adalah: Datuk Maruhun Panjang dari Padang Ganting Batu Sangkar, Si Tarapang dari Kubung Tigo Baleh Solok, Muhammad Nasir dari Koto Tangah Padang, dan Buyung Mudo dari Pulut-pulut Bandar Sepuluh Pesisir Selatan. Guna menjalankan peran strukural-kultural, keempatnya diberi gelar Tuanku dengan keahlian masing-masing, yaitu: Tuanku Bayang yang ahli dalam ilmu Sharf, Tuanku Kubung Tigo Baleh yang ahli dalam ilmu Nahw, Tuangku Padang Ganting yang ahli dalam ilmu Fiqh, dan Tuanku Batu Hampar yang ahli dalam al-Qur’an.

Struktur surau ini berusaha diturunkan hingga ke tingkat praktis dengan menobatkan tiga sistem gelar ulama di bawah gelar Tuanku, yaitu: Imam, Khatib, dan Labai. Ketiga sistem gelar tersebut dipilih dan diangkat langsung oleh Syekh Burhanuddin Ulakan. Sistem ini ditujukan sebagai pemegang kebijakan keagamaan di tingkat akar-rumput untuk mengakomodasi dan mempersuasi masyarakat kepada ajaran Islam.

Peran Imam sendiri sebagai perantara antara ulama Tuanku dengan Raja dan Penghulu dalam mengembangkan Islam di Minang, khususnya Pariaman. Secara teknis, Imam berperan untuk memberi izin pernikahan anggota suku, menetapkan petugas keamanan masjid, tempat bertanya dan mengadukan masalah agama, penghubung antara raja dengan Syekh Burhanuddin dalam kehidupan beragama. Di Ulakan sendiri, diangkat empat Imam berdasarkan suku dan kepemilikan tanah ulayat, yaitu: Imam Rangkayo Rajo Mangkuto untuk Suku Koto, Imam Rajo Adat Rajo Sulaiman dari Suku Panyalai, Imam Rajo Adat Rangkayo Rajo Dihulu, Imam Rajo Adat Amai Said.

Sedangkan Khatib berperan sebagai ulama adat yang mendukung Islamisasi masyarakat. Fungsi Khatib secara praktis, antara lain: pelindung Tuanku dan Syekh dalam berdakwah, anggota sidang Jumat untuk menentukan Imam dan khatib serta pegawai masjid, tempat bertanya urusan agama, pelaksana aktivitas keagamaan, serta mediator antara Raja dan Syekh.

Adapun Labai berarti orang yang ahli dalam ilmu agama. Mereka bertanggung jawab untuk memakmurkan dan menjalankan kegiatan keagamaan secara teknis di surau yang dipimpinnya. Perannya meluas menjadi perangkat penghulu yang menjembatani antara penghulu dan kalangan pemuka agama. Fungsi Labai, antara lain: mengelola dan menentukan kebijakan surau sekaligus menghidupinya, mengurusi masalah kematian dan kurban Idul Adha, serta mengumumkan waktu puasa Ramadhan.

Syekh Burhanuddin Ulakan sendiri memahami posisi adat yang kuat di dalam struktur masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu, beliau berusaha merangkul nilai-nilai adat masyarakat yang dipandang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Salah satu tonggak yang paling penting dari upaya ini adalah Perjanjian Bukit Marapalam yang intinya para kaum agama dan adat bersepakat untuk mengikrarkan: “Adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adaik mamakai. Sagalo undang adaik dan kelengkapannya dalam alam Minangkabau, luhak dan rantau, kampung dan nagari, disesuaikan oleh sagalo ulama dan penghulu kepada rakyat di alam Minagkabau.“

Falsafah tentang “Adat bersendi Syariat, Syariat bersendi Kitabullah” mendorong pemanfaatan Surau bagi aktivitas adat di tingkat masyarakat. Perlahan, masyarakat mulai mengenal Islam yang kemudian menerimanya sebagai agama dan jalan hidupnya. Pola dakwah ini kemudian memicu terbentuknya berbagai surau lainnya di berbagai daerah di daratan Minang. Terlebih lagi, keberadaan Surau telah menjadi syarat sah berdirinya sebuah Nagari di ranah Minang. Pada gilirannya, pola jejaring dakwah inilah yang mendorong masifnya masyarakat Minang untuk memeluk Islam dan menerapkannya sebagai bagian dari kehidupannya sehari-hari.

Secara praktis, Syekh Burhanuddin Ulakan berusaha memasukkan unsur-unsur Islam kepada masyarakat dalam kehidupan kesehariannya. Kepada anak dan remaja, beliau mengajari Bismillah untuk memulai permainan agar mereka mendapatkan “beruntung”. Beliau juga menggunakan berbagai seni dan tradisi setempat untuk memperkenalkan Islam, seperti: pencak silat dan syair. Secara perlahan, cara ini bisa membuka komunikasi kepada masyarakat, sehingga mereka mau menerima Islam, mulai dari tata caranya hingga agama dan syariatnya.

Akhlak yang Rahman dan Rahim. Demikian Syekh Burhanuddin Ulakan mengajarkan kita tentang menjadi Rahmat bagi semesta alam. Bagaimana pun, dakwah adalah dampak dari keshalihan dan ketakwaan. Dengannya, beliau mampu menebarkan kasih sayang kepada sesama manusia. Rasa kasih sayang tersebut yang membuatnya mampu merangkum adat ke dalam pusaran agama, yang kemudian merangkul manusia ke dalam jalan hidup yang berserah diri kepada Allah ta’ala.***

Author Profile

Yudha P, Sunandar
Lahir dari seorang ayah penggemar wayang golek dan pengidola dalang Sunda asal Bandung, Jawa Barat. Senang menjelajahi berbagai wilayah di Indonesia dan menelusuri berbagai khazanah di dalamnya. Berpengalaman sebagai Jurnalis dan Event Management. Saat ini, sedang menekuni mitologi Mahabarata dan khazanah Syekh Hamzah Fansuri.

Eksplorasi konten lain dari Siloka.org

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Siloka.org

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca