Meskipun bukan pertama kalinya mengunjungi kota Banyuwangi, tetapi saya berusaha menyegarkan suasana kota dengan mencari destinasi, tempat menginap, dan transportasi yang baru. Kawan perjalanan saya bertugas untuk mencari sarana transportasi kepada salah satu sanak saudaranya yang kebetulan warga Banyuwangi. Namun, alangkah terkejutnya saya ketika menyimak percakapan mereka yang beberapa kali menyebut kata “dukun santet” bersamaan dengan membahas lokasi tertentu.
Dari gaya bicara mereka, terdengar bahwa frasa “dukun santet” dan “santet” menjadi bahan candaan. Meskipun demikian, kawan saya hanya mengiyakan saja ketika saudaranya menyatakan bahwa dia bersedia mengantar ke lokasi yang dituju, kecuali ke hutan bagian dalam Alas Purwo. Wah, memangnya kenapa? Demikian saya merasa heran. Bukankah cerita mistis atau seram tentang Hutan atau Taman Nasional Alas Purwo hanyalah konten budaya populer seperti film, konten youtube, dan lain-lain?
Di sisi lain, seorang kawan studi saya yang merupakan warga Banyuwangi asli, sempat bercerita mengenai situasi mistis lokal yang dia alami di masa lampau. Dari ceritanya, keseraman pengalamannya bagaikan konten cerita seram yang bertebaran di media sosial. Meskipun demikian, berulang kali kawan saya ini menyatakan, “Ini pengalamanku, loh, ya.” Dia merasa perlu membubuhi penekanan tersebut untuk menghindari perilaku yang sama yang dilakukan oleh media saat ini, yaitu framing untuk memberikan efek berlebihan, dramatisasi, dan tentu saja agar memperoleh pemirsa yang banyak.
Menyimak cerita kawan tadi, saya jadi membandingkan dengan fenomena di media seperti Twitter. Cerita seram melalui Twitter adalah tentang sekelompok mahasiswa KKN di sebuah desa. Meskipun lokasi cerita tidak secara tegas disebutkan, tetapi dugaan banyak pembaca lokasinya ada di Desa Bayu, Banyuwangi. Popularitas cerita seram di Twitter tersebut mendorong sineas Indonesia untuk membuat versi filmnya. Lalu tayanglah film berjudul KKN DESA PENARI yang memperolah animo besar dari penonton.
Batas antara fakta dan fiksi cerita seram KKN Desa Penari seakan sulit untuk ditemukan. Meskipun demikian, situs Tempo.co, melansir sebuah berita bahwa lokasi cerita seram tersebut berada di Desa Bayu, Banyuwangi. Kepala desa Bayu, Sugito, mengamini bahwa lokasi cerita dalam versi film berjudul KKN Desa Penari terjadi di desanya.
Selain cerita tentang KKN Desa Penari, konten mengenai kejadian mistis yang terjadi di taman nasional Alas Purwo Banyuwangi bertebaran di kanal Youtube. Taman Nasional Alas Purwo, melalui representasi media sosial, mengkristalkan imajinya sebagai hutan angker atau mistis.
Dalam dunia sinema Indonesia, film horor merupakan genre yang sedang banyak diproduksi. Meskipun dalam sejarah perfilman Indonesia, berdasarkan catatan Budi Irawanto dalam kata pengantar buku Memaksa Ibu Menjadi Hantu: Wacana Maternal Horror dalam Film Indonesia Kontemporer yang ditulis oleh Anissa Winda Larasati dan Justito Adiprasetio, bahwa film genre horor di Indonesia lebih sering menjadi bahan cemoohan kritikus film, atau setidaknya dipandang sebelah mata. Buktinya, dalam sejarah perfilman, film horor Indonesia tidak pernah mendapatkan penghargaan. Sebuah film horor yang menjadi pengecualian adalah Pengabdi Setan besutan Joko Anwar pada 2017 lampau. Penghargaan yang didapatkan oleh film Pengabdi Setan bukanlah sebagai film terbaik versi FFI.
Film horor Indonesia dari segi jumlah yang begitu banyak, mungkin yang bercerita secara jempolan bisa dihitung dengan jari. Sehingga, sutradara Ghina S Noer melayangkan kritik kepada para sineas yang mengambil jalan pintas dalam menyuguhkan efek seram dalam film mereka dengan cara menyuguhkan efek seram melalui tema seputar ritual agama dan tokoh agama, seperti dikisahkan oleh Khumaid Akhyat Sulkhan, dalam esainya.
Menurut Khumaid Akhyat Sulkhan, film horor Indonesia berpotensi untuk mengeksplorasi berbagai isu penting, termasuk isu lingkungan. Isu lingkungan dan cerita horor diolah menjadi sebuah genre ecohoror. Genre ini mengacu kepada cerita tentang cara alam membalas perbuatan eksploitatif manusia.
Sulkhan mengingatkan pembaca kepada dua buah film yang bertema ecohoror, yaitu film legendaris Godzilla (1954) yang memberikan gambaran mengenai kekuatan mengerikan yang diperlihatkan oleh alam sebagai ganjaran bagi aktivitas manusia yang eksploitatif. Film kedua, Deep Bule Sea (1999), menggambarkan ilmuwan yang melakukan eksperimen untuk meningkatkan kapasitas otak hiu untuk menemukan obat alzeimer. Namun, sialnya, situasi berubah horor ketika hiu yang semakin cerdas justru memburu para ilmuwan dan staf di fasilitas penelitian mereka.
Pertanyaan yang muncul dari betapa unsur mistis lokal telah menjadi konten “dagang” dalam bentuk film maupun media sosial adalah sejauhmana hal tersebut dapat berfaedah bagi kelangsungan penjagaan alam dari kerusakan yang dilakukan manusia?***
Author Profile

- Pengkaji Budaya. Meraih gelar Magister Humaniora dari Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Aktif sebagai periset dan penulis dalam isu religi dan budaya. Saat ini berprofesi sebagai dosen di Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Jawa Barat.
Latest entries
Lampah11/11/2024Banyuwangi dan Framing Mistis oleh Media (3)
Lampah08/11/2024Perjalanan ke Ujung Timur Pulau Jawa: Mengeja Yang Sakral (2)
Lampah05/11/2024Perjalanan Ke Ujung Timur Pulau Jawa: Menghayati Kekayaan Alam Hayati (1)
Lampah28/08/2024Perjalanan Dalam Imajinasi Inklusivitas Agama: Praktik Epoche
Eksplorasi konten lain dari Siloka.org
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.