Perjalanan ke Ujung Timur Pulau Jawa: Mengeja Yang Sakral (2)

Untuk sampai ke Pantai Bama dari tempat tinggal di Bandung, saya harus menempuh perjalanan dengan menggunakan kereta hampir 20 jam lebih. Perjalanan dilakukan dengan menggunakan dua rute kereta api. Pertama, kereta Bandung – Yogyakarta, lalu disambung kereta Yogyakarta – Banyuwangi (Stasiun Ketapang) kemudian dilanjutkan dengan menggunakan mobil.

Selama dalam perjalanan, saya menemukan pemandangan pegunungan, lengkap dengan air terjun ataupun pesawahan. Pun di dekat tempat tinggal. Saya sangat akrab dengan pemandangan tersebut dibandingkan dengan pemandangan di ujung timur pulau Jawa ini. Tentu saja, pemandangan khas pegunungan semacam itu sudah biasa bagi saya.  Sehingga, ketika ibu pemilik homestay yang kami sewa terdengar heran begitu mengetahui salah satu tujuan kami adalah Taman Nasional Baluran. “Untuk apa ke Baluran? Kan tidak ada apa-apa di sana?”

Saya tersenyum kecut mengingat perjalanan ratusan kilometer harus ditempuh untuk mendatangi Baluran dan membayangkan betapa ngeri jika sampai “tidak menemukan apa-apa”. Dari obrolan santai dengan ibu pemilik homestay, jelaslah baginya yang menarik justru alam pegunungan. Betapa girangnya dia ketika menceritakan pengalamannya saat melakukan Lava Tour di Merapi Yogyakarta. Sementara, bagi saya sendiri, pengalaman semacam itu terhitung sangat biasa.

Tiba di Pantai Bama, suasananya nyaris sunyi. Berbeda dengan Pantai Pangandaran yang kerap didatangi begitu banyak pengunjung tak terelekkan untuk mengambil gambar berupa foto maupun video. Dalam momen tersebut, saya teringat ilustrasi yang ditulis oleh Karen Amstrong dalam bukunya, Sacred Nature. Menurutnya, betapa manusia zaman kiwari kerap terpenjara oleh alat teknologi yang dibawanya, yaitu kamera saat berhadapan dengan alam. Karen Amstrong bertanya secara eksistensial, “Kapankah manusia memiliki pengalaman intim atau batin dengan alam, alih-alih disibukkan dengan mendokumentasikan alam?”

Saking “mahalnya” perjalanan menuju Pantai Bama, rasanya tak tega jika luput dari mengambil gambar. “Hasil dokumentasi ini akan saya nikmati saat di tengah hiruk pikuk kota yang sangat padat, yaitu Bandung.” Begitulah batin saya memberikan penenangan atas aktivitas di Pantai Bama yang sibuk dengan alat, seperti gawai.

Walaupun demikian, ada rasa lega ketika jaringan internet tidak tertangkap di pantai tersebut, sehingga jeda untuk tidak terhubung dengan aplikasi apa pun menjadi pengalaman yang seru sekaligus menegangkan. Kurang lebih 30 menit kemudian, gawai dan tripod segera saya singkirkan. Kini, saatnya mencoba untuk menemukan “sesuatu” pada pemandangan pantai dan luasnya lautan di hadapan saya agar dapat merekamnya di dalam hati dan pikiran.

Debur ombak yang terhitung tenang membawa pada ketenangan yang unik. Saya sadar benar bahwa gradasi warna biru, putih, dan abu pada laut begitu indah. Ketika beberapa pengunjung menaiki perahu kecil untuk menuju sebuah pulau, ada rasa ngeri yang menyergap. Sebagai “orang gunung” imajinasi laut, pantai dan Tsunami begitu lekat.

Bagaima jika tiba-tiba Tsunami datang melanda? Segala ketakjuban dan kengerian beradu menjadi satu, saling berganti. Namun, keindahan yang tertangkap dengan kengerian sekaligus  itu tak terelakkan.  Moment paradoks tersebut mengingatkan pada Mircea Eliade. Menurut Eliade, homo religious kerap ingin berdekatan dengan Yang Sakral, seperti orang, benda, tempat atau ruang dan waktu. Rudolf Otto pun mempunyai penjelasan mengenai pengalaman ganjil manusia saat berada dalam pengalaman religius yang sangat personal. Yang memesona (fascinans) dan sekaligus menakutkan (tremendum) seperti sebuah rangkaian yang menyatu. Dalam Taoisme terdapat konsep Yin dan Yang, atau dalam Sufisme terdapat konsep Jamal dan Jalal.

Alam sebagai teofani atau sebagai kehadiran yang Ilahi merupakan kehadiran batiniah yang tak mudah untuk dideskripsikan. Antara fascinans dan tremendum, pencarian jawaban ala Karen Amstrong, yaitu narasi sakral semacam, apakah yang bisa digunakan manusia kontemporer agar dalam memandang alam dapat ditemukan Yang Sakral?  Kemudian, penemuan Yang Sakral pada alam seyogyanya dapat mengantarkan kepada penghormatan alam secara adil, bukan hanya untuk kepentingan manusia.

Author Profile

Kurniasih, S.S., M.Hum.
Kurniasih, S.S., M.Hum.
Pengkaji Budaya. Meraih gelar Magister Humaniora dari Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Aktif sebagai periset dan penulis dalam isu religi dan budaya. Saat ini berprofesi sebagai dosen di Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Jawa Barat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *