Secara leterlek, Paramasastra berasal dari dua kata dalam bahasa Sanskerta, yaitu: Parama dan Sastra atau Shaastra. Kata Parama berarti tertinggi, terbaik, terunggul, atau Keutamaan. Adapun Sastra atau Shaastra dibangun dari dua suku kata, yaitu Shaas yang berarti memberikan petunjuk, ajaran, pedoman, atau instruksi; sedangkan Tra merupakan alat atau sarana untuk menuju tujuan tersebut. Dengan demikian, Paramasastra merupakan sarana pemberian petunjuk kepada yang utama. Lebih spesifik, kita akan coba mencari tahu apa dan bagaimana Paramasastra itu.
Komunitas Sastra Lestari yang bermukim secara digital di sastra.org mengidentifikasi keberadaan tiga penyusun Paramasastra, yaitu:
- Paramasastra Jawa gubahan R. Ng. Ronggowarsito yang disalin oleh Padmasusastra pada tahun 1893. Gubahan sejumlah 128 halaman tersebut diterbitkan oleh Albert Rusche & Co, Surakarta pada tahun 1900.
- Layang Paramasastra Jawa gubahan Mas Ngabèi Dwija Sewaya setebal 83 halaman, dan diterbitkan oleh N. V. Voorheen H. Buning, Ngayogyakarta pada tahun 1910.
- Layang Carakan gubahan Padmasusastra setebal 47 halaman, dan diterbitkan pada tahun 1917 oleh Albert Rusche & Co.
Dari ketiga Paramasastra tersebut, mengapa Paramasastra Ronggowarsito jauh lebih banyak? Membahas apa sajakah di dalamnya?
Bahasan dibuka dengan doa yang biasa dimohonkan oleh para Maharesi atau pertapa, yang mengungkapkan keagungan, kebesaran, dan kesempurnaan Tuhan serta harapan agar senantiasa dijauhkan dari segala bentuk ritangan, “U Ilaheng hong Mangarcana, Mataya Awignamastu Namasidhem. U Pahmayana siwaha.”
Kata pahmayana siwaha terdiri dari dua kata, yaitu: Pahmayana dan Siwaha. Kata Pahmayana terdiri dari unsur Pah yang terkait dengan Tuhan, serta Mayana yang bermakna dekat kepada Tuhan. Sedangkan kata Siwaha belum diketahui maknanya. Barangkali terkait dengan Siwa? Adapun akhiran Ha dalam kata siwaha sebagai tambahan Sandhangan a yang dipanjangkan. Sedangkan huruf “U” di depan kata Pahmayana sama dengan Om (Aum) atau Hong untuk menyebutkan Tuhan dalam aspek Ilahiyah dan Rububiyah.
Dalam tulisan ini, saya mencoba untuk memikirkan kegunaan yang lebih praktis dari Paramasastra susunan Ronggowarsito. Ronggowarsito sendiri menyebutkan bahwa Paramasastra bermakna kaluwihaning aksara. Apakah “kaluwihaning” lebih tepat diterjemahkan sebagai keistimewaan atau keutamaan aksara? Ataukah ada makna yang lain? Mari kita coba simpulkan dari jabaran yang diberikan oleh Ronggowarsito.
Awal mulanya, Kaluwihaning Aksara diciptakan oleh Empu Ajisaka yang datang ke Nagari Purwacarita di Medhangkamulan. Di sana, dia dikenal sebagai Prabu Widayaka. Dalam menciptakan kaluwihaning aksara, ia berembug dengan empat resi: 1. Rêsi Brahandang, 2. Rêsi Braradya, 3. Rêsi Brarunting, 4. Rêsi Cathakasandi. Karya tersebut masih dalam bentuk Tembung Kawi (Jawa Kuna), yang kemudian diterjemahkan oleh Ronggowarsito ke dalam Tembung Jawi (Jawa). Di sini, Ronggowarsito menggunakan istilah Jawi untuk penyebutan Jawa.
Terkait Kawi, saya teringat akan asalnya dari bahasa Sanskerta (Samskarta: dihiasi, dimurnikan) yang ditulis dengan aksara Dewanagari. Hal ini membangkitkan rasa penasaran saya tentang proses transformasi aksara Dewanagari ke Kawi. Dalam pandangan mata saya sebagai amatir, secara bentuk aksara tidak sama. Namun, secara sistem Sandhangan adalah sama. Barangkali, adaptasinya dari Sandhangan yang lalu mengambil beberapa bahasa Sanskerta yang dibutuhkan oleh Kawi.
Dokumen paling tua berbahasa Sanskerta adalah Weda yang disebut kebanyakan sarjana sebagai Sanskerta Weda. Teks paling awal Weda, yaitu Rigveda (Weda yang tersusun dalam syair), dan seringkali dianggap berasal dari sekitar tahun 1500 SM. Scara struktur tata bahasa, bahasa ini mirip dengan Yunani dan Latin. Adapun istilah Kawi sendiri berasal dari bahasa Sanskert “kavya” yang berarti puisi atau syair.
Jika Sanskerta berasar dari Indo-Eropa, maka Kawi berasal dari Austronesia yang merupakan penggembangan dari aksara Palawa. Pengaruh kosakata bahasa Sanskerta terhadap kosakata Kawi cukup besar. Sebanyak sekitar 50 persen bahasa Kawi berasal dari bahasa Sanskerta. Jadi, cukup berasalan jika dalam mengalihaksara Jawa, ada sistem yang namanya IAST yang menggunakan tanda diakritik berdasarkan Sanskerta. Sedangkan JGST, meskipun berdasarkan IAST, tetapi menyesuaikan dengan dialeg masyarakat Jawa. Jika sistem Sandhangan Dewanagari mempengaruhi Sandhangan Jawa, maka fonologi termasuk konsonan retrofleks, dan kosakata Kawi dipengaruhi oleh Sanskerta.
Lalu, bagaimana Ronggowarsito melihat keterhubungan antara Sanskerta, Kawi, dan Jawa dalam penjelasan Paramasastra “Kaluwihaning Aksara”-nya?
Kaluwihaning Aksara dibentuk oleh lima hal, yaitu:
- Sutra: aksara beserta bunyi (swara)-nya.
- Aksara: memiliki ketajaman dan makna yang dalam.
- Sastra: ketajaman.
- Swara: bunyi suatu suara yang diucapkan.
- Nung Swara: terutama suara yang diucapkan, juga ber-kumandhang yang menjadi sandhangan bagi semua aksara. Agar aksara memiliki bunyi, maka ia perlu diberi sandhangan.
Pada hari ini, umumnya dikenal rumusan Sriwedari yang menyatakan bahwa semua aksara konsonan (belum diberi Sandhangan) diberi nama Ywanjana. Namun, Ronggowarsito mengartikan bahwa Ywanjana sebagai persaudaran. Oleh karena itu, Ronggowarsito membagi Ywanjana ke dalam dua jenis, yaitu: Ywanjana Wisatih yang berarti masih ada yang tersimpan dalam hati (galih); dan Ywanjana Nitriyah, yang berarti terungkapkan semuanya. Ywanjana Wisatih memiliki 33 aksara yang terdiri dari 28 Ngglena dan lima pasangan. Sedangkan Ywanjana Nitriyah memiliki 31 Ngglena dan 18 pasangan. Dalam aksara Jawa, pasangan sendiri bertugas untuk menghilangkan atau mematikan huruf vokal (setelah diberi Sandhangan) pada aksara dasar (Ywanjana/ Nglena/ Konsonan).
Dari segi pengucapan, pengelompokannya berbeda dengan pembagian selama ini yang saya ketahui. Apakah hanya beda istilah semata? Mari kita coba menelusurinya. Berikut jenisnya:
- Talawya: badan lidah (lambe) mendekat ke atas
- Denta: ujung mengarah ke gigi
- Murddha: ujung lidah mengarah ke atas
- Kalpaprana: tengah lidah yang disertasi hembusan kecil (kurang hati)
- Mahaprana: banyak nafas (hati besar).
- Antyaswara:
- Asthiswara:
- Gota:
- Amugota:
- Anunasika:
- Swara:
- Nungswara:
Adapun secara karakter, Aksara Talawya: Pa, Pa pasangan, P titik bawah, Pa titik bawah pasangan, Ba, Ba pasangan, Ba titik bawah, Ma, dan Ma pasangan. Ditambah Sya garis miring yang berdesis. Pengelompokan aksara Talawya Ronggowarsito ini mengingatkan saya pada pengelompokan aksara Talawya yang selama ini saya dapatkan dalam tabel Kawi yang beredar di internet, yaitu Ca, Cha, Ja, Jha, Na dengan garis getar di atas N, dan Sya garis miring, ya, I, dan I panjang. Sedangkan semua aksara Talawya Ronggowarsito ditambahkan Wa dan pasangannya, aksara rekan u dan u panjangnya dimasukkan ke dalam kelompok Osthya (suara dari bibir). Sedangkan Ca, Cha, Ja, dan Na dengan garis getar di atas N, semuanya ditambahkan Ja pasangan, Nya, dan Jna dengan garis getar di atas n, yang dimasukkan oleh Ronggowarsito ke dalam kelompok Kalpaprana.
Sebagian Resi mengartikan Kalpaprana sebagai kurang hati (kirang manah). Berbeda lagi dengan kelompok Kalpaprana yang selama ini saya kenal: Ka dengan pasangannya, Ca dengan pasangannya, Ta dengan titik di bawah T dan pasangannya, Ta dengan pasangannya, Pa dengan pasangannya, Ga dengan pasangannya, Ja dengan pasangannya, Da titik di bawah Da, Da dengan pasangannya, dan Ba dengan pasangannya.
Adapun aksara Mahaprana, bermakna hati besar (manah ageng): Ka, Ka dengan titik di bawah K, Ga, Gha, dan Nga. Namun, ada aksara Mahaprana yang semunya merupakan aksara ageng (huruf kapital) bersama pasangan: Ha pasangan, Na pasangan, Na Murdha, Ca, Cha, Ka pasangan, Da pasangan, Ta pasangan, Tha Murdha, Sa pasangan, Sa dengan titik di bawah S, Sa Murdha, Wa, La, Pa dengan titik di bawah P, Da dengan titik di bawah D, Ja, Na dengan garis getar di atas N, Ma, Gha, Ja, pasangan ba, Ta dengan titik di bawah T. Aksara Mahaprana Ronggowarsito pun berbeda dengan selama ini yang saya ketahui: Ka Murdha, Cha, Tha dengan titik di bawah T, Pa dengan titik di bawah P, Gha, Jha, Dha dengan titik di bawah D, Dha, dan Ba dengan titik di bawah B.
Bagi saya, perbedaan pengucapan ini menjadi masalah tersendiri bagi mereka yang biasa melakukan penyuntingan naskah dengan menggunakan Metode Diplomatis (apa adanya, dan tentunya memiliki tujuan). Penyuntingan Metode Diplomatis –yang pastinya terkait alihaksara apa adanya– tentunya membutuhkan panduan yang sesuai dengan maksud cara baca sebenarnya aksara (tidak seperti PUJL yang merupakan pedoman umum yang ditetapkan oleh Sriwedari). Jika Ronggowarsito lebih detail menggungkapkan makna setiap aksara dan penggolongannya, tentu saja penetapan penggunaan aksara tertentu memiliki nilai makna atau filosofi tersendiri. Bukankah dikatakan Kaluwihaning Aksara?***
Author Profile
- Meraih gelar Magister Humaniora dari Sejarah Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung. Saat ini, sedang menjalani studi doktoral di jurusan Religious Studies - Filsafat Agama UIN SGD Bandung.