Perjalanan Dalam Imajinasi Inklusivitas Agama

Dengan kereta malam
Ku pulang sendiri
Mengikuti rasa rindu
Pada kampung halamanku

Pada Ayah yang menunggu
Pada Ibu yang mengasihiku

Perjalanan – Franky & Jane

Perjalanan Kereta Malam, begitulah judul dari nukilan lirik lagu Franky & Jane yang diciptakan pada 1978. Lagu tersebut melegenda. Lagu yang teramat sendu dengan lirik yang lirih, biasa saya nikmati dari radio di ruang tengah rumah puluhan tahun lalu. Biasanya, volume suara radio dipasang cukup tinggi jika tengah memutar lagu.

Lirik lagu tersebut mengisahkan pengalaman seorang perempuan yang hendak pulang kampung, lalu bersua dengan sesama penumpang. Jika dibayangkan, si aku kemudian bertegur sapa dengan penumpang yang lain, yaitu seorang ibu tua. Obrolan basa-basi berubah menjadi obrolan sedih karena “aku” ternyata mirip dengan anak perempuannya yang telah tiada. Lagu Franky & Jane tersebut seakan-akan menjadi begitu lekat dengan perjalanan panjang pada malam hari dengan menggunakan kereta pada era 80-an.

Lalu, bagaimana dengan imajinasi perjalanan di era abad 21 yang tak bisa lepas dari globalisme dan era digital? Mungkin, pada tahun 80-an, perjalalanan malam menggunakan kereta sudah merupakan perjalanan yang masif, mengingat kereta api merupakan moda transportasi yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Kini, perjalanan yang mengangkut orang ke berbagai tujuan sudah difasilitasi oleh perkembangan agen perjalanan, sistem pembelian tiket yang serba online, maskapai penerbangan yang beragam, serta moda transportasi kapal laut yang semakin nyaman dengan beragam tujuan, sehingga memudahkan orang untuk pergi ke berbagai belahan pulau, bahkan dunia yang diinginkan. 

Sebagai bagian dari budaya bepergian, maka lahir pula istilah backpaker, traveller, atau nomad.  Orang-orang yang bepergian seakan-akan hendak “bertukar tempat” dan saling terhubung untuk menyatu dalam sebuah konsep, yaitu “membeli perspektif baru tentang tempat tinggal”. Perjalanan yang menjauh dari tempat asal tidak perlu lagi dengan alasan sebagaimana para eksil yang dipaksa meninggalkan kampung halaman akibat kondisi sosial-politik. Siapapun dapat bepergian untuk menjadi warga dunia sesuai dengan kesanggupannya dalam memperoleh moda transportasi dan pengalaman yang ingin dicapai. 

Pada 2019, dalam usia profesi pengajar yang baru dua tahun dalam mengampu mata kuliah Fenomenologi Agama, saya memutuskan untuk melakukan perjalanan darat menuju Pulau Bali. Pertama-tama, perjalanan ini tidak dibingkai sebagai perjalanan rekreasi semata. Meskipun tak bisa dipungkiri, unsur tersebut akan muncul di dalamnya. Alasan mendasar perjalanan melintasi ujung Pulau Jawa juga bersifat fenomenologis. Sebagai seorang anggota masyarakat perkotaan yang hidup dalam cengkraman banalitas keseharian yang tak terelakkan, rasanya saya perlu “membeli pengalaman baru” untuk menikmati fenomena-fenomena yang tak dapat saya bayangkan sebelumnya.

Inspirasi Produksi Ruang Levebre dan Perjumpaan Batin

Etnografi adalah sebuah alibi sekaligus bekal untuk melakukan perjalanan darat yang panjang. Saya harus menyusun rencana secara detil, seperti: kota mana saja yang akan disinggahi, moda transportasi yang akan dipakai, jumlah pakaian yang harus dibawa secara efektif, serta perlindungan tubuh dari sarana toilet yang mungkin saja tidak bersih.

Pilhan moda transportasi yang sesuai dengan maksud perjalanan kali ini adalah perjalanan darat, yaitu kereta api. Lalu dilanjutkan dengan kapal laut. Dengan kata lain, perjalanan saya termasuk dalam kategori backpaker, yaitu perjalanan cara alternatif. Sederhananya, ciri perjalanan ini adalah biaya yang disediakan terhitung murah. Namun, murahnya biaya perjalanan yang dimaksudkan juga untuk mendapatkan pengalaman yang lebih berwarna bersama sebanyak-banyaknya orang, baik di perjalanan maupun di lokasi tujuan.

Semula, desa yang akan saya tuju adalah Desa Sembalun, Lombok, atau desa lainnya di Nusa Tenggara Barat. Untuk ilustrasi materi tentang yang sakral dan profan di kelas, saya selalu menggunakan video dokumenter tentang akulturasi budaya dan agama suku Sasak yang diperoleh dari situs Inside Indonesia. Saya ingin mengalami, mengamati, merasakan kekayaan fenomena keagamaan pada Suku Sasak secara langsung. Rencananya, saya akan tinggal beberapa hari. Namun, ternyata, koneksi saya dengan ketua adat di sana tidak juga terjalin. Satu-satunya nomor kontak yang saya punya tidak berhasil menghubungkan saya dengannya. 

Perjalanan memang harus direncanakan, tetapi toh bukan sebuah skenario pasti. Bali adalah tujuan yang saya bayangkan sebagai tujuan yang kaya dengan budaya. Perjalanan dari Bandung menuju Bali melalui jalan darat sangat panjang, meski tentu lebih pendek daripada ke Lombok. Demi menjaga stamina tubuh, perjalanan dimulai dari Bandung ke Yogyakarta terlebih dahulu sambil menanti arah nasib, apakah saya akan menemukan tempat tinggal selama di Bali? 

Perjalanan kereta api Bandung-Yogyakarta memakan waktu hampir tujuh jam. Perjalanan Bandung-Yogyakarta sudah biasa saya lakukan. Di Yogyakarta, saya berjumpa dengan kawan studi selama di Yogyakarta. Dari beliau, saya pun mengantongi nama, nomor kontak, serta tempat tinggal yang bisa saya peroleh. Lokasinya pas dengan perjalanan yang saya rancang, yaitu desa. Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kereta ekonomi dari Yogyakarta menuju Ketapang, Banyuwangi. Perjalanan selama 13 jam akan saya tempuh bersama-sama dengan penumpang lain. 

Mungkin perjalanan panjang ala backpaker ini seperti mengada-ada. Kenapa tidak memilih pesawat terbang, misalnya, alih-alih harus berada di perjalanan selama nyaris 24 jam? Menelisik mengenai ruang yang nantinya akan menjadi kata kunci, baik perjalanan maupun proses live in, perlu juga sedikit menengok konsep produksi ruang yang diskemakan oleh seorang sosiolog Prancis, Henri Lefebvre. Pengalaman dengan duduk di kereta selama 13 jam bukan semata-mata duduk yang membosankan dan tanpa pengalaman yang unik. 

Dalam 13 jam tersebut, terdapat tiga jenis ruang yang merujuk pada skema Lefebvre. Pertama, ruang yang dipersepsikan. Kursi kereta yang tegak sungguh tidak nyaman dirasakan. Lutut bertemu lutut dengan sesama penumpang menjadi tak terhindarkan. Lorong di antara kursi tempat pun begitu sempit. Suara anak-anak menangis, AC yang terlalu dingin, pemandangan di luar kereta yang bergantian antara pesawahan, gunung gemunung, rumah-rumah, yang kesemuanya ada di antara saya. 

Kedua adalah ruang yang dikonsepkan. Kereta yang saya tumpangi ini sudah tercetak dalam tiket bahwa perjalanan akan menempuh waktu 13 jam kurang 10 menit dengan harga 94 ribu Rupiah dan akan berhenti di beberapa kota. Inilah ruang yang sudah diatur oleh pihak penyelenggara perjalanan yaitu PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang tidak dapat saya atau siapapun ubah. Dalam jadwal dan harga yang tercetak pada tiket, tidak akan termuat pengalaman macam apa yang akan dijemput.

Terakhir adalah ruang yang dihidupi. Meskipun saya duduk di atas kursi tegak yang melelahkan tubuh, tetapi imajinasi saya “memanggil” nama-nama penulis yang kerap menjadikan kota-kota di sepanjang Jawa Tengah hingga Jawa Timur di dalam tulisan mereka. Saya teringat kepada Clifford Geertz yang meneliti tentang kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Mojokuto. Lalu muncul juga nama Nh. Dini, Ahmad Tohari, Okky Madasari, serta Mahfud Ikhwan yang kerap memakai setting atau panggung cerita di desa-desa Jawa Tengah dan Jawa Timur yang membuat perjalanan saya seperti sebuah perjumpaan dua dunia, yaitu dunia real yang saya alami dengan dunia yang termaktub di dalam cerita atau buku-buku. 

Dalam ruang yang dihidupi tersebut, pengalaman tak biasa pun bermunculan. Seakan sebuah drama dimulai. Saat itu, saya duduk satu kursi dengan dua orang bapak-bapak. Seorang sudah agak sepuh, mungkin 60-an, sedangkan satunya sekitar 40-an. Pertemuan dengan orang asing, apalagi untuk pertama kalinya, membutuhkan sedikit “topeng”. Begitu mereka selesai membereskan barang bawaan, kami pun berbasa basi. 

“Bapak turun di mana?” Itulah salah satu pertanyaan yang saya lontarkan. Bapak yang sepuh dengan nama Pak Budi menjawab bahwa mereka akan ke Jember. Perjalanan dari Yogyakarta ke Jember akan memakan waktu 11 jam. Hanya dua jam lebih dulu dari tujuan akhir saya, Banyuwangi. Dia melanjutkan perbincangan, “Wah perjalanan panjang kita ini ya? Ibu tujuan akhir kereta ya, Banyuwangi?” Saya mengiyakan sambil agak ngeri membayangkan akan ‘ngapain’ selama itu dengan mereka berdua yang nampaknya tak mungkin menghindari obrolan. 

Topeng yang saya pakai pada awal perbincangan adalah saya tidak memberitahukan profesi sehari-hari. Apalagi pekerjaan saya ada embel-embel “agama”-nya. Saya cenderung menghindari diskusi dengan orang yang bertemu di jalan. Namun, ternyata sia-sia menghindari diskusi dengan kedua bapak tersebut. Bapak yang muda berceloteh panjang lebar mengenai agama. Saya berusaha tidak banyak memberi tanggapan, cukup menjadi pendengar saja.

Setelah cukup kelelahan bicara ngalor-ngidul, bapak yang muda bertanya dengan sangat cermat mengenai pekerjaan saya. Tak dinyana, saya akhirnya menyebutkan profesi yang kemudian memicu si bapak mengeluarkan uneg-uneg tentang betapa agama-agama kini justru mengotak-ngotakan masyarakat.

Saat jeda, bapak yang sepuh tiba-tiba bertanya dengan sungguh-sungguh, “Mbaknya Muslim?” Saya cukup terkejut menerima pertanyaan berbau identitas keagamaan ini. Meski jelas-jelas saya mengenakan jilbab seperti muslimah kebanyakan, pertanyaan mengenai agama tetap dia lontarkan. 

Topik kopi yang ternyata menjadi minuman favorit kami, akhirnya menyelamatkan percakapan dari topik berbelit-belit tentang agama. Namun, dari bapak tua tersebut, akhirnya saya mengetahui tujuan mereka ke Jember. Pak Budi dan kawannya ini akan menghadiri sebuah pertemuan dengan guru spiritual kristiani! Mereka rutin bertemu dengan guru spiritual bersama dengan kawan lainnya yang sudah menunggu di Jember. Mereka rutin menghadiri pertemuan tersebut di tengah-tengah pekerjaan harian mereka.

Perjalanan selama 11 jam akhirnya ditutup oleh sebuah nasihat yang secara mengejutkan diucapkan oleh Pak Budi dengan sangat serius. Ia melihat dalam-dalam mata saya, menarik nafas berat, lalu berkata, “Mbak, hati-hati ya dengan pikiranmu. Apa yang kamu ajarkan itu bisa membuatmu tersesat jika terlalu dipikirkan.” 

Saya turun di Ketapang, Banyuwangi, pukul 21.00 WIB. Masih ada waktu dua jam sebelum dijemput travel menuju Kuta pada pukul 00.00 WIB untuk menyeberang ke pulau Bali. Di stasiun yang mulai sepi dari penumpang itu, saya memiliki kesempatan untuk merenungkan baik-baik nasihat Pak Budi.***

Author Profile

Kurniasih, S.S., M.Hum.
Kurniasih, S.S., M.Hum.
Pengkaji Budaya. Meraih gelar Magister Humaniora dari Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Aktif sebagai periset dan penulis dalam isu religi dan budaya. Saat ini berprofesi sebagai dosen di Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Jawa Barat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *