Tiga Serangkai Makassar

[Kisah Lawatan Makassar, bagian I]

28 Juli 2018, untuk ketiga kalinya saya mengunjungi Kota Makasar. Ada agenda organisasi , sekaligus ada tarikan khusus untuk berkunjung ke wilayah-wilayah khas di ujung kaki bagian selatan dari Pulau Sulawesi, Kerinduan untuk menggali kisah dan khazanah di Pulau Celebes. Kawan-kawan Makasar mengundang saya berkunjung ke sebuah Pulau persis di sebarang Pelabuhan Makasar. Memandang lautan lepas, mendengar deburan ombak, memandang langit tanpa watas, melambungkan sebuah imajinasi perihal wilayah itu di kala lampau.

Saya membayangkan, seseorang dengan dada bidang, tubuh tinggi besar dan sorot mata tajam berdiri gagah di geladak kapal di Bandar Sombaopu. Juli adalah puncak angin muson tenggara. Angin enam bulanan yang bertiup bolak-balik adalah berkah dari langit dan bumi di tanah ini, di bumi Makassar. Posisi dan topografi Pulau di mana Makassar berada adalah khazanah persilangan, titik transisi dan peralihan antara Barat dan Timur. Ia menjadi gerbang ke Timur, dan sekaligus pintu menuju Barat.

Saya kembali membayangkan sosok itu: Karaeng Patinggaloang. Sosok terlampau besar untuk ukuran zamannya. Ia lahir di tahun 1600, puncak saat Makassar sedang berada di kejayaannya. Ia menjadi titik temu antar-bangsa. Makassar sedang menjadi pusat niaga, setelah Selat Malaka memudar.

Saya kembali memandang lautan lepas, deburan ombak deru menderu, memecah dan berkejaran tapi tidak terlalu tinggi membahayakan. Dalam bayangan saya, 600 an kapal beriringan di puncak musim laut ini, menunggu antrian untuk berlabuh di bandar Sombaopu. Sebagian besar kapal melempar sauh, mencari titik seimbang sementara, sebelum merapat ke pelabuhan.

Cuaca terik, angin melamun ombak, saya kembali berimajinasi. Sang Karaeng raja Talo ini, cucu Sultan Awaludin, sedang menatap langit lepas. Malam pekat tapi taburan bintang yang memberi arah, adalah peta jalan bagi para pelaut ulung seperti dirinya. Langit dan samudera adalah semesta para pelaut. Islam, agama yang relatif baru di Makasar, dengan kitab suci Alquran, begitu gamblang bicara ayat-ayat semesta, di langit dan di bumi. Ayat-ayat tentang peredaran benda-benda langit begitu memikatnya. Seorang pelaut adalah seorang pembaca langit: letak bintang, arah angin, kelembaban dan suhu, sampai awan dan hujan. Maka tidaklah heran, Sang Karaeng ini menggemari segala perihal ilmu-ilmu perbintangan dan peta bumi.

Pertengahan Februari 1651, saat mana angin muson barat laut bertiup. Sorot matahari Celebes tak begitu terik seperti biasanya, awan hitam lebih sering menutupinya. Sebuah kapal besar Belanda berlabuh di Sombaopu. Coba terka, muatan apa yang diturunkan kapal tersebut?

Barang-barang yang saat itu masih langka dan tergolong barang rahasia. Dari sekian daftar muatan, diantaranya adalah bola dunia dengan diameter 1,3 meter. Bola dunia tersebut mungkin bola dunia terbesar yang pernah dibuat. Sebuah mahakarya dari seorang kartograf masyhur, Joan Blaeu. Orang yang sama yang membuat instrumen pengamat bintang yang digunakan Tyco Brahe. Joan Blaeu adalah keturunan keluarga pembuat peta terbaik di zamannya. Di zaman ekplorasi laut, sebuah zaman saat tiap jengkal tanah tak bertuan, dan laut tanpa batas diukur dan dipetakan.

Setahun kemudian setelah kedatangan bola dunia di pelabuhan, di tempat ini pula datang sebuah teleskop. Instrumen yang sama yang digunakan seorang Galileo yang telah menghantarnya ke dalam kisah tragedi. Lengkap sudah, dua instrumen vital dan menjadi magnum opus di masanya, kini ada di ruang kerja Sang Karaeng, si Perdana Menteri Kerajaan Gowa-Tallo ini.

Ruang kerja sekaligus perpustakaan pribadinya menyimpan aneka khazanah pustaka dunia. Buku-buku ragam bahasa tersedia di sana, juga aneka peta-peta dunia. Ia menguasai setidaknya 12 bahasa asing. Melayu, Portugis, Spanyol, Latin, Denmark, Arab adalah beberapa bahasa yang dikuasainya dengan fasih. Di ruang inilah ia menyimpan bola dunia dan teleskopnya.

Langit jingga, mega diarak angin tenggara, matahari berada di permulaan senja. Sang Karaeng asyik di perpustakaan Perdana Menteri, sekaligus ruang pribadinya. Manusia, jika disebut mahluk termulia, adalah karena kepemilikan akan khazanah Ilahi di dalam dirinya. Khazanah yang membawa kesadaran akan siapa dirinya dalam konstelasi semesta. Kesadaran yang dibangun dengan ilmu pengetahuan dan saling mengenal antar-bangsa. Kesadaran ini pula yang kini tengah diraih Sang Karaeng.

Ia sedang asyik memutar-mutar bola dunia. Ditelitinya dengan teliti nama-nama kota di setiap negara. Kota-kota yang saat itu sedang mengalami puncak-puncak keilmuan. Dari kota-kota Eropa ia menelusuri kota-kota di Afrika Utara, Afrika Barat, Timur Tengah, Asia Selatan sampai jalur-jalur perdagangan laut di Nusantara. Ia mengamati sebuah titik, yang menjadi koordinat pijakannya, Pelabuhan Sombaopu, Kerajaan Gowa-Tallo atau Makassar. Lewat bola dunia inilah, kesadarannya meluas, menjangkau semua sudut bumi. Ia berhitung, berapa lama untuk mengitari semua pusat-pusat ilmu dan peradaban, dengan skala hitungan hari pelayaran Sombaopu-Selat Malaka. Ia berhitung juga dengan menggunakan mistar dan peta-peta, catataan arah angin setiap jalur laut. Penguasaan akan ilmu matematika, sebagai ilmu yang paling diminatinya, mempermudah pengukuran dan perhitungannya.

Matahari perlahan menurun di langit barat. Tenggelam lalu hari menggelap. Sang Karaeng beranjak dari keasyikannya dengan bola dunia. Selepas maghrib dan isya, berbekal pelita dan teropong di tangan ia menuju dan naik ke menara Maccini Somabala. Menara tempat mengintip layar para kapal di tengah lautan. Setelah asyik dengan bola dunia, dimana ia memahami posisi negaranya dalam peta dunia, kini ia tengadah ke keluasan langit dunia. Ia mengarahkan teropongnya ke planet-planet, bintang dan bulan. Ia mencoba mengukur titik pijak bumi ini terhadap benda-benda langit.

Dua instrumen ini, bola dunia dan teropong, ditambah gambar-gambar atlas dan sekian buku-buku di perpustakaan pribadinya, adalah pembangun kesadaran akan siapa dirinya, siapa bangsa Makassar dalam peta percaturan dunia. Pelabuhan Makassar, sebagai titik silang Barat dan Timur, persilangan perdagangan rempah-rempah dari Maluku, beras dari pedalaman Celebes, aneka barang-barang China, dan perjumpaan ragam pengetahuan. Kesadaran ini pula yang menjadikan bangsa Tallo yang dipimpinnya bersekutu dan berbagi peran dengan Gowa. Berperang dan berseteru antar bangsa sendiri bukanlah sesuatu yang terhormat. Bersekutu lalu berbagi berperan, sembari menentukan mana dan siapa yang akan dihadapi, melalui kesamaan visi dan misi justru yang menjadi kunci. Kesepakatan dibuat, Raja dari Tallo menjadi Perdana Menteri, dan Raja dari Gowa menjadi Raja Utama, lalu diikat dalam Kerajaan Gowa-Tallo yang disebut Makassar.

Lewat Sang Karaeng inilah hukum kebebasan di lautan ditegakkan, menghilangkan perbudakan, semua bangsa dipandang sama dalam hak sebagai manusia, lalu mereguk iklim dan semesta pencarian pengetahuan, pada akhirnya dilanjutkan oleh generasi hampir sezaman dan generasi selanjutnya: Syekh Yusuf dan Sultan Hasanuddin.

Syekh Yusuf, salah satu putra Makassar dengan prinsip siri (menjunjung kehormatan) berhasil mereguk persilangan pengetahuan antara Haromain di Timur Tengah dan Nusantara. Ia lalu berkelana dan mengikuti takdir ke Banten, Aceh, Srilanka sampai Tanjung Harapan di Afrika. Syekh Yusuf adalah sosok paling depan dalam perlawanan terhadap kolonialisme, penghisapan manusia atas manusia.

***

Sultan Hasanudin, Syaikh Yusuf, Karaeng Patinggaloang adalah para putra bumi Makasar. Karakter yang khas: sorot mata tajam, wajah mendongak tanda penuh percaya diri dan berwatak kosmopolis. Watak dimana dibangun dari karakter alamnya, daerah transisi yang menjadi titik temu antar bangsa, sehingga kuat di bidang maritim dan perniagaan. Kuat dalam ragam bahasa, mudah bergaul dan mencerap ragam ilmu dan semesta budaya. Watak kosmopolis ini menjadikan dimanapun bumi dipijak sepanjang ia menyentuh laut, itulah bumi dirinya. Orang-orang bugis dan makassar tersebar di hampir semua wilayah pantai-pantai jawa, Sumatra, kalimantan dan pulau-pulau di Timur (maluku dan sekitarnya).

Secara alam pun, watak transisi ini ditunjukkan lewat bumi dan penghuninya. Russel Wallace, seorang naturalis Inggris, menemukan bahwa flora dan fauna di Sulawesi adalah persilangan atau campuran antara watak Asia di Barat dan Australia di Timur. Garis Wallace, lalu dilengkapi dengan garis Webber yang diteorikan Max Carl Wilhelm Webber, menunjukkan dengan tepat watak persilangan ini.

Begitulah, ada harapan besar terhadap orang-orang di bumi Makassar ini. Sosok-sosok dengan watak kosmopolis, piawai berinteraksi, meramu dan mereguk semua unsur ilmu dan kebudayaan antar-bangsa. Dengan prinsip sirri (menjunjung kehormatan), tidak mengenal rasa takut di manapun bumi di pijak. Sebuah watak yang mendorong daya ekplorasi akan pengetahuan dan akan bumi-bumi yang belum terjelajahi. Peran besar yang kelak akan dimainkan dalam percaturan keilmuan di Nusantara.

Author Profile

Deden Himawan
Pengkaji Kebudayaan dan Khazanah Suluk Nusantara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *