Mengajar Sejarah

Ada masa dimana cita-cita demikian murni. Dorongan kuat dalam diri, tanpa polusi dari kisah sukses para CEO start-up. Itu di masa saya SMP. Tentu saja cita-cita ini bermula dari inspirasi, yang mengalir bersama mata pelajaran di sekolah yang saya jalani. Cita-cita itu begitu sederhana, “menjadi guru sejarah”.

Bermain, mengenali lingkungan sekitar, mengenal dongeng dan kisah-kisah wayang, maupun cerita sastra dan lakon khas daerah adalah yang saya lakoni di Sekolah Dasar. Jarang sekali ada PR, atau beban belajar yang berlebihan. Semuanya adalah perihal bermain dan mendengarkan dongeng.

Setiap anak terlahir fitrah. Itu adalah rumusan baku. Salah satu manifestasi “fitrah” itu adalah keingintahuan yang besar perihal posisi dirinya. Usia SMP adalah masa di mana kenginantahuan itu semakin membuncah. Lantas mendapatkan penyalurannya lewat pelajaran sekolah. Mengetahui posisi diri, posisi seorang manusia, posisi terhadap ruang dan waktu di mana dirinya hadir. Ruang yang terhamparkan membentuk semesta dan fakta geografi di sekitarnya. Waktu yang terbentang semasa penciptaan semesta dalam skala waktu kosmik, skala waktu geologi dan aneka kisah yang menjadi sejarah, yang terekam dalam peradaban, epos wiracarita maupun mitologi. Pelajaran IPBA (Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa), Geografi dan Sejarah adalah mata-mata pelajaran terkait hal ini. Bagaimana mengetahui posisi dirinya dalam ruang-waktu yang lebih luas dan lebih panjang. Pada semesta raya dan pada rangkaian panjang kisah peradaban manusia.

Kegemaran ini terus berlanjut hingga kini, dengan mengoleksi buku-buku sejarah, peta-peta, atlas kuno dan benda-benda bersejarah. Tapi yang paling utama dan menggembirakan adalah saat diminta menjadi pengajar di sejarah dan ilmu-ilmu sosial di SMP Al-Kaustar. Petuah sederhana dan sangat benar, dikemukakan Richard Feynman, “If you want to master something, teach it” , jika hendak menjadi unggulan di bidangnya, mengajarlah. Motif saya tentu tidak sejauh itu, untuk sampai menjadi “unggul”. Ia hanya menjadi kegemaran saja.


Beberapa minggu lalu, saya diminta memberikan pengetahuan tentang sejarah Peradaban Amerika Kuno. Berkisah tentang peradaban Maya, Aztec dan Inca. Di antara 7 peradaban besar, 3 peradaban di Amerika itulah peradaban yang bukan berada di wilayah Subtropis. Peradaban Mesir, Peradaban Lembah Indus, China dan Mesopotamia adalah peradaban-peradaban kuno yang berada di wilayah Subtropis dan merupakan peradaban sungai. Berbeda dengan peradaban Afrika dan Asia, peradaban Maya, Aztec dan Inca di Amerika merupakan peradaban yang dengan basis peradaban tropis dan danau serta rawa. Saya membandingkan tanah Jawa, gunung-gunungnya yang berada di tengah pulau, lalu sungai-sungai mengalir secara menjari ke tepian-tepian pulau. Kondisi yang membuat Pulau Jawa seolah merupakan gabungan antara peradaban Sungai dan peradaban tropis. Betapa luar biasa potensi besar ini.

Kondisi setahun pandemi mengubah banyak hal, salah satunya cara belajar dan mengajar. Google map, google-earth, zoom, gmeet, jamboard menjadi akrab dalam masa sekolah daring ini. Perangkat itu juga menjadi andalan saya dalam mengajar. Tentu dengan sekian kreativitas agar pengajaran tetap berlangsung dengan tetap berada dalam koridor edudkasi dan proses didaktik yang baik.


16 Nopember 1532, 102 pasukan infanteri dan 68 pasukan kavaleri (berkuda) Kerajaan Spanyol berhadapan dengan 80 ribu prajuriit Inca, dibawah pimpinan Maharaja Attahualpa. Momen dramatis, sekaligus tragis dikisahkan Jared Diamond dalam buku Guns, Germs, Steel. Pembantaian pun dimulai. Peradaban Inca di Amerika Selatan berkembang dalam jalur yang berbeda dengan wilayah Asia dan Afrika. Kondisi gunung-gunung dan medan berupa hutan membuat peradaban Amerika Kuno tidak mengenal domestifikasi hewan besar, khususnya kuda, sebagai wahana utama pasukan kavaleri. Peradaban Amerika juga tidak mengenal besi/baja, yang merupakan logam kuat dan keras untuk membuat senjata tajam, terutama pedang. Bisa kita bayangkan, pertemuan dua kekuatan ini. Secara jumlah pasukan Inca 500 kali lebih banyak. Tapi secara persenjataan dan teknologi, Spanyol dan Portugis di kala itu adalah dua negara adidaya di masanya.

“Santiago”, pekik perang ala Spanyol diteriakkan 168 pasukan yang dipimpin Francisco Pizarro, bertindak atas nama Roma Suci. Bisa diduga akibatnya. Jenjang teknologi yang cukup besar. Meriam, pedang, letusan bedil, kuda-kuda yang langsung membawa pasukan ke tengah arena, dengan cepat memporak-porandakan pasukan Inca, yang hanya bersenjatakan pentungan. Tangan terpotong, jerit kesakitan, ceceran darah, dentuman meriam, mayat-mayat pasukan Inca dengan sekejap bertumpuk. Tak ada satupun pasukan Spanyol yang mati. Dua peradaban besar bertemu, yang masing-masing mewakili perbedaan arah kemajuan yang berbeda. Pizzaro, Cortez para penakluk benua Amerika dari Spanyol dengan cepat membuat peradaban yang berusia ribuan tahun itu musnah dalam sekejap. Emas dan perak, berikut benda-benda berharga diangkut kapal-kapal besar ke Eropa. Gold, Gospel dan Glory sejatinya hanyalah kisah kolonialisme belaka. Penjajahan dan penaklukan bangsa lain, penguasaan sumber daya alam dan penghancuran kehidupan sosial budaya manusianya.

Portugis dan Spanyol adalah dua adidaya di semenanjung Iberia. Semenanjung yang menjadi gerbang masuk Islam ke Eropa, yang dikenal dengan nama Andalusia. Sejarah islam berada di Semenanjung Iberia, bisa kita runut di tahun 714 M. Kehadiran Islam di Iberia, dimulai dari kedatangan Tariq ibn Ziyad, pasukan tempur Bani Umayah di Damaskus, semasa Kalifah Al-Walid I. Tapi berdirinya Bani Umayah di Andalusia, dimulai saat Abdurrahman ad-Dakhil melarikan diri dari percobaan pembunuhan, sekitar tahun 750-an.

Kedatangan pasukan Umayah di Semenanjung Iberia ini, mendorong semangat penaklukan kembali, Reconquista dari para ksatria Kristen. Semangat ini kemudian dideklarasikan resmi setelah kemenangan tahun 718 pada Perang Covadonga. Dari kemenangan ini, para ksatria dan aristokrat Pelagius mendirikan Kerajaan Kristen Asturias. Reconquista ini mencapai puncaknya dengan perjanjian Granada di tahun 1492, saat itulah pemerintahan Bani Umayyah dan kesultanan islam kecil-kecil lainnya di Andalusia berakhir. Tahun 1496 terjadi pengusiran dan inquisisi, kaum muslimin dan yahudi. Ancaman jika ingin selamat harus memeluk Kristen memaksa eksodus besar-bearan, ribuan muslim dibunuh di era ini. Di tahun yang sama Spanyol dan Portugis menguasai dunia. Tahun 1492 adalah masa pelayaran Columbus. Perjanjian Todersilas ditandatangi, Paus membagi petak dunia ibarat sekarat roti. Sepotong untuk Portugis, sepotong lagi untuk Spanyol. Kedua kerajaan ini, seolah mendapatkan legitimasi langit untuk menjarah dan membungihanguskan bangsa-bangsa lain. Spanyol mendapatkan belahan dunia ke arah barat hingga ke Benua Amerika. Portugis ke arah Timur, India, Malaka hingga kepulauan Maluku.

Kepada anak-anak SMP Al-Kautsar, Saya memperlihatkan bola dunia. Memperlihatkan bagaimana dunia dibagi. Bagaimana di tahun 1532, peradaban Inca hancur dalam beberapa hari. Kebetulan Indonesia secara lokasi berada persis di balik benua Amerika. Maka di belahan bumi lain, Kerajaan Demak dan Cirebon berdiri. Kedua kerajaan ini adalah rumusan Walisanga, dan berhadapan langsung dengan Portugis, yang saat itu sudah menguasai Malaka. Walisongo adalah sebuah sistem yang dibentuk oleh para Wali, para penyebar Islam di Nusantara. Selain Demak dan Cirebon, Kerajaan Banten juga didirikan sebagai ektensi dari Cirebon, yang kemudian menghancurkan aliansi Pajajaran-Portugis.

Apakah argumen pertemuan dan pertempuran Islam dan Kristen di Nusantara ini terbukti secara ilmiah?

Bertram Johannes Otto Schrieke dan Anthony Reid adalah dua sejarawan Nusantara yang menyodorkan teori balapan, antara Kristen dan Islam. Tentu kajian keduanya didukung oleh fakta-fakta sejarah yang terdokumentasikan. Menurutnya kolonolisme Portugis dan Spanyol dipicu oleh sentimen anti-Islam, sebagai perluasan Perang Salib dan semangat Reconquista di Semenanjung Iberia. Kecemberuan dan sentimen kedua negara Iberia tersebut tampak jelas. Di sepanjang jalur-jalur maritim dan pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai negeri-negeri dan pedagang muslim, Portugis dan Spanyol melakukan penyerangan terhadap kapal-kapal muslim. Penyerangan ini bahkan sampai ke wilayah Nusantara. Portugis menduduki selat Malaka di tahun 1511, menjarah dan menyerang kapal-kapal haji dan membunuh para peziarah sepanjang India, Hormouz, hingga nusantara. Portugis menjadi teroris maritim. Motif keduanya tentu saja tidak murni agama, ada kepentingan ekonomi politik dibaliknya. Ada motif kolonialisme yang kuat. Kolonialisme yang menumpang isu agama, seolah demi kerajaanTuhan, Gospel, padahal hanya mengajar duniawi semata : Gold and Glory semata.

Kehadiran sistem/jamaah dalam ikatan kuat, Dewan para Wali, yang kita kenal Walisanga, secara langsung berhadapan dengan dua kekuatan besar, adidaya di masanya. Portugis dan Spanyol yang secara teknologi pelayaran dan perangkat perbintangan mengambil pengetahuan dari bangsa Muslim, khususnya Arab.

Dari kisah di atas, kita bisa belajar dari bangsa sebelah, Filipina. Negeri ini bahkan dinamai sebagai Raja Sapnyol, Phillip II. Seorang nama raja penjajahnya. Adalah Ruy López de Villalobos, pemimpin ekspedisi yang menemukan kepulauan di sebelah utara Maluku dan Sulawesi, dengan nama Las Islas Filipinas. Dari sini kemudian, istilah Filipino muncul, sebagai sebutan para penduduk asli.

Coba bayangkan, tanpa jasa para Walisanga, mungkin nama “Indonesia” tidak akan kita kenal. Barangkali kita akan mengenalnya dengan nama Wilhelmina-sia, tanahnya Ratu Wilhemina, yang dulu menjadi pujaan idola para birokrat kompeni di awal abad 20. Atau bisa jadi Indonesia bernama New Holland.

Author Profile

Deden Himawan
Pengkaji Kebudayaan dan Khazanah Suluk Nusantara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *