Berbicara tentang Hamzah Fansuri, banyak orang menyematkan sufi tersebut dengan sebuah tempat berjuluk Fansur. Menariknya, belum ada kesepakatan di antara para ilmuwan tentang lokasi persis tempat tersebut. Hal menariknya lagi, Hamzah Fansuri hadir tiga ratus tahun selepas kejayaan kota pelabuhan tersebut.
Fansur sendiri merupakan kata yang merujuk kepada komoditas spesifik bernama Barus, atau Kapur Barus. Pada abad 9-12 Masehi, sebuah pelabuhan berjuluk Barus menjadi salah satu tujuan utama pelayaran di dunia. Sesuai namanya, komoditas utama yang diperdagangkan di pelabuhan ini adalah Kapur Barus. Konon, Pelabuhan Barus terletak di pulau Sumatera, tepatnya di wilayah yang sekarang berada di bawah administrasi Sumatera Utara.
Sebuah catatan dari Marcopolo menyebutkan bahwa wilayah kerajaan ini memproduksi kamper terbaik di dunia yang disebut sebagai Kamper Fansuri. Sulayman al-Mahri menyebutkan bahwa Fansur terletak di pantai barat Sumatera di sebelah utara Pariaman. Dugaan banyak periset, pelabuhan tersebut berada di tempat yang hari ini bernama Barus di daerah Sumatera Utara. Hanya saja, butuh kerja keras dan panjang untuk membuktikannya.
Dari sekian banyak area di Barus, salah satu kelompok riset asal Perancis memfokuskan aktivitasnya ke sebuah wilayah perkampungan berjuluk Lobu Tua. Di daerah ini banyak ditemukan prasasti dari berbagai kerajaan di luar Nusantara dengan berbagai bahasa. Menariknya, dalam buku Lobu Tua: Sejarah Awal Barus yang disunting oleh Claude Guillot menyebutkan bahwa sebuah prasasti Tamil bertahun 1088 Masehi ditemukan dua Kilometer dari laut terdekat. Padahal, dulunya situs ini terletak tepat di pinggir laut.
Ada banyak penelusuran tentang Fasur berdasarkan situs Lobu Tua dalam buku terbitan Yayasan Obor Indonesia yang bekerjasama dengan Ecole francaise d’Extreme-Orient dan Pusat Arkeologi Nasional tersebut. Namun, pada kesempatan kali ini, saya ingin menelusuri tentang pergerakan lempeng tektonik yang berada di sebelah barat pulau Sumatera dan akibatnya terhadap daratan di sekitarnya.
Dalam kurun waktu seribu tahun, lempeng tektonik di area sebelah barat pulau Sumatera mengalami pergeseran yang menyebabkan gempa berkekuatan lebih dari 6 Skala Magnitudo (Mw). Bagi masyarakat modern, kita mengenal gempa di Aceh pada tahun 2004 yang berpusat di Kepulauan Andaman dengan kekuatan 9,3 Mw dan menyebabkan gelombang tsunami hingga setinggi 15 sampai 30 meter. Akibat peristiwa tersebut, lebih dari 200 ribu orang dinyatakan hilang dan meninggal.
Beberapa bulan kemudian, gempa berkekuatan 8,7 Mw mengguncang kembali patahan tektonik di sebelah barat Pulau Sumatera yang berpusat di Pulau Nias. Menariknya, Suyarso (2008) melaporkan bahwa Pulau Nias bagian utara terangkat hingga setinggi 2,6 meter di atas permukaan laut rata-rata. Dampaknya, terjadi penambahan daratan baru yang berasal dari dasar perairan laut dangkal di Pulau Nias bagian utara, hilangnya berbagai obyek vital pesisir serta perubahan profil pantai dan pematangnya (Vargas et al. 2011; Devi dan Shenoi 2012).
Sebuah jurnal berjudul Adaptasi Mangrove Terhadap Perubahan Lingkungan: Suatu Studi pada Gempa Nias, Sumatera Utara, Maret 2005 yang ditulis oleh Suyarso, dkk (2018) dan diterbitkan di Jurnal Oseanologi dan Liminologi di Indonesia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperlihatkan perubahan fisik pantai di Pulau Nias bagian utara dengan mengamati perubahan vegetasi Bakau (Mangrove) antara citra satelit tahun 2003 dan 2015. Hasilnya, Suyarso menyimpulkan adanya perpindahan vegetasi mangrove hampir sejauh 500 meter dari garis pantai baru. Hal ini tampak dari musnahnya sebagian besar vegetasi bakau pada citra satelit sepuluh tahun setelah gempa.
Kesimpulan lainnya, terjadi penambahan pulau dan daratan baru di sekitar Pulau Nias. Dari enam pulau yang ada di bagian utara Pulau Nias, daratan dua pulau di antaranya mengalami penambahan lebih dari tiga kali lipat. Adapun daratan satu pulau lainnya mengalami penambahan lebih dari dua kali lipat. Sedangkan daratan tiga pulau sisanya bertambah hampir dua kali lipat. Selain itu, terdapat enam pulau baru paska gempa Nias tahun 2005 tersebut. Tiga di antaranya memiliki luas kurang dari satu hektar, sedangkan tiga lainnya memiliki luas lebih dari 20 hektar.
Gempa dan naiknya permukaan daratan tersebut tidak lepas dari fenomena lempeng bumi dan pergerakannya. Di lautan sebelah barat Pulau Sumatera sendiri terdapat pertemuan dua lempeng berjenis patahan naik-turun. Disebut demikian, karena dataran lempeng di sisi Pulau Sumatera berada di atas lempeng yang berada di sisi Samudera Hindia. Pada setiap rentang waktu tertentu, lempeng di sisi Pulau Sumatera tersebut bergerak naik ke arah barat yang ditandai dengan fenomena gempa, dan sebagian lagi ditandai dengan peristiwa tsunami. Karena pergerakan yang cukup besar inilah yang akhirnya menimbulkan getaran yang sangat besar.
Saya pribadi tidak berhasil menemukan daftar gempa dari sumber terpercaya. Namun, setidaknya, catatan gempa besar yang ada di Wikipedia cukup bisa dilirik. Tercatat, sejak tahun 950-an, ada lebih dari 30 gempa dengan kekuatan lebih dari 7 Mw di pesisir barat Sumatera. Sekitar 15 di antaranya berkekuatan lebih dari 8 Mw, dan sekitar 4 gempa lainnya berkekuatan di atas 9 Mw. Dari keseluruhan gempa tersebut, sekitar 14 di antaranya mengakibatkan tsunami dengan berbagai variasi ketinggian.
Kembali ke Pelabuhan Barus. Salah satu fenomena alam yang mengancam keberadaan pelabuhan manapun di dunia adalah tsunami. Berkaca dari peristiwa tsunami Aceh tahun 2004 silam, tampak pemukiman dan bangunan lainnya di pesisir pantai tersapu gelombang tsunami hingga rata, termasuk pelabuhan. Dalam konteks lingkungan, tsunami juga mampu menyapu lapisan tanah dan pasir yang dilaluinya. Bahkan, hutan bakau di pesisir pantai pun bisa hilang diterjang gelombang tsunami yang cukup besar.
Menengok Pelabuhan Barus hari ini, secara sekilas kita bisa melihat jejak-jejak daratan panjang yang menjulur ke laut di sekitar Pantai Kahona. Sekitar dua Kilometer dari pesisir pantai terdalam terdapat situs Lobu Tua, tempat prasasti Tamil bertahun 1088 Masehi ditemukan. Bila diasumsikan bahwa dulunya lokasi Lobu Tua tersebut merupakan pelabuhan, maka kita bisa mengimajinasikan kawasan Pantai Kahona merupakan tempat berlabuhnya kapal-kapal besar dari berbagai kerajaan di dunia yang mampir ke Pelabuhan Barus pada abad 9 hingga 12 Masehi. Adapun daratan yang menjulur memanjang ke tengah lautan umumnya merupakan konstruksi manusia untuk menjaga gelombang lautan di bagian dalam kawasan pelabuhan cenderung tenang. Namun, tentunya asumsi ini memerlukan penelitian lebih lanjut, khususnya dari sisi bidang arkeologi dan geologi.
Pertanyaan lainnya, bagaimana Pelabuhan Barus bisa menemui ajalnya setelah tiga ratus tahun melayani perdagangan Kapur Barus berskala internasional? Tentunya, ada banyak variasi jawaban soal ini, mulai dari soal politik kerajaan yang berkuasa saat itu, sampai dengan skala ekonomi permintaan kapur barus dari masa ke masa. Dari sekian banyak kemungkinan, tampaknya perlu juga menelusuri kemungkinan gempa dan tsunami yang melanda Pelabuhan Barus menjelang akhir hidupnya.
Tercatat, pada tahun 1300 terdapat setidaknya tiga gempa besar di Aceh yang diikuti oleh gelombang tsunami, yakni: gempa 8,4 Mw pada tahun 1350, gempa 8,6 Mw pada tahun 1388, serta gempa 8,3 Mw pada tahun 1394. Sebelumnya, pada tahun 950, tercatat terjadi gempa berukuran 9,0 Mw yang disusul dengan tsunami di wilayah Aceh. Menariknya, tidak ada catatan gempa dan tsunami di Aceh maupun Sumatera pada rentang tiga ratus tahun antara tahun 950 sampai 1350. Pada saat yang hampir bersamaan, Pelabuhan Barus mencapai kejayaan sekitar abad 9 sampai 12 Masehi. Namun, tentunya asumsi ini masih memerlukan penelitian lapangan lanjutan yang lebih menyeluruh dan detail.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana Hamzah Fansuri ada di Barus dan melabuhkan dakwahnya di wilayah ini? Bagaimana keadaan Barus dan masyarakatnya pada masa Hamzah Fansuri? Dan mengapa Hamzah Fansuri menisbatkan namanya dengan nama pelabuhan yang sudah berlalu tiga abad dari masa keemasannya? Bagaimana pun, nama belakang seorang wali bukan dinisbatkan kepada tempat asalnya, tetapi merujuk kepada tempat dakwahnya. Pun Hamzah Fansuri yang ditugaskan untuk berdakwah di Negeri Fansur dan dimakamkan sekitar seratus Kilometer dari Pelabuhan Barus.***
Author Profile
- Lahir dari seorang ayah penggemar wayang golek dan pengidola dalang Sunda asal Bandung, Jawa Barat. Senang menjelajahi berbagai wilayah di Indonesia dan menelusuri berbagai khazanah di dalamnya. Berpengalaman sebagai Jurnalis dan Event Management. Saat ini, sedang menekuni mitologi Mahabarata dan khazanah Syekh Hamzah Fansuri.