Pembaringanku telah kutaburi dengan mur, gaharu dan kayu manis. Marilah kita memuaskan syahwat hingga pagi, bersama menikmati kasih.
Kitab Amsal 7 : 17-18
Kayu manis, di abad pertengahan dan awal abad ekplorasi bukanlah sekadar bumbu. Bersama rempah lainnya, semisal jahe, buah pala, lada, cendana, hadir melampaui imaji paling liar dan absurd manusia. Pemaknaan berlebihan akan khasiat dan fungsinya menjadikan rempah-rempah adalah barang mewah di dunia Barat, tepatnya eropa dan mediterania. Tentu saja, rempah menjadi bagian gaya hidup elit, yang dikukuhkan dengan sastra dan literasi yang berkembang di sana. Tak kurang dari Kitab Amsal di atas, karya-karya St Afustin, Clement of Alexandria, sampai Galen dan bahkan Ibnu Sina menyinggung kegunaan rempah rempah.
Karena imaji tentang rempah-rempah pula, terjadi perubahan konstelasi posisi peradaban. Amerika, India dan Asia, khususmya di sekitaran asia tenggara menjadi buruan para pedagang. Bangsa Arab dan China adalah para penyuplai utama untuk pasar-pasar Eropa. Ia barang yang langka dan susah didapat. Secara substansi, rempah-rempah tidak mengandung kandungan gizi apa pun. Tapi fungsi utamanya sebagai penyedap dan pengawet makanan Eropa yang cenderung tawar, mendapatkan fungsi tambahan: sebagai gaya hidup. Tentu saja, wacana-wacana tekstual yang berkembang di kala itu, mengerucut ke satu hal yakni pemaknaan yang berlebihan atas kegunaannya.
Ada tiga jenis rempah yang dominan di masa itu : lada dengan beragam variannya yang mendapatkan pasokan utama dari Malabar India, dan kayu manis, serta pala yang bersumber dari Kepulauan Maluku, khususnya Ternate dan Tidore.
Coba kita bayangkan, barang yang sekarang mudah kita temui di dapur kita sendiri : lada, kayu manis, cengkeh dan pala adalah barang yang paling berharga di Eropa zaman pertengahan. Ia juga yang menjadi penyebab Columbus, Magellan, Vasco Da Gama melakukan perjalanan hampir mengelilingi dunia, demi menjangkau dan menemukan sumber utama penghasil rempah. Ia juga penyebab pertempuran antar bangsa Eropa di samudra-samudra raya. Bahkan pihak Gereja, yang diwakili Paus, harus menjadi penengah antara Portugis-Spanyol, lewat perjanjian Tordesillas, dengan membagi dunia ke dalam potongan sederhana untuk dibagikan kepada dua negara ini. Seolah kue tart, sebagai hadiah ulang tahun, dipotong sederhana menjadi dua bagian.
Sejak saat itulah, era kolonialisme dan imperialisme diawali. Tentu saja, dibangun pula imaji lewat wacana dan narasi teks, sastra, kitab suci , sekadar novel dan kisah-kisah petualangan tentang dunia-dunia Timur, yang ditempatkan sebagai area jajahan, eksotis tapi tak beradab dan tak berTuhan. Sedangkan Barat/Eropa adalah bangsa beradab yang berkewajiban menjadikannya agar lebih beradab.
Kisah bagaimana Pantai Malabar hancur akibat serangan bangsa Portugis, barangkali cukup layak dibuka kembali. Pantai Malabar saat itu demikian kosmopolit. Para pedagang berbagai bangsa hadir di sana: Arab, China, India, Melayu, Venesia. Tentu saja kecuali bangsa-bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Bangsa-bangsa tersebut mendapatkan rempah setelah melewati rantai yang panjang, yakni di pasar-pasar Venesia, dengan harga berlipat sampai 1000%. Pantai Malabar di masa itu demikian hidup dan kokoh sebagai jalur rempah utama. Sampai kemudian, kedatangan Portugis pertama kalinya menginjak Malabar.
Kedatangan yang demikian pongah dan tak beradab. Lantas, karena kerakusan Portugis untuk menguasai rempah-rempah, lalu menyerang Kalkuta dan Malabar dengan meriam selama 2 hari 2 malam, dan mengusir para pedagang Arab Muslim, menjadikan bangsa Portugis sebagai pelaku monopoli tunggal atas jalur rempah dunia saat itu. Kosmopolisme Malabar, tempat berkumpul dan bertemunya aneka budaya, simpul-simpul penyebaran jalur-jalur dakwah beragam agama, menjadi hancur berantakan.
Monopoli rempah Portugis, akhirnya mendapatkan lawan setimbang: bangsa-bangsa Eropa lainnya yang sama-sama rakus dan ingin menguasai rempah-rempah: Spanyol, Inggris dan Belanda.
Jika Spanyol dan Portugis cenderung sporadis, maka era kemudian setelahnya, Inggris dan Belanda datang dengan lebih terorganisir. Belanda dan Inggris membangun persekutuan dalam bentuk perusahaan (company), yang merupakan cikal bakal perusahaan multinasional di era kini. VOC untuk Belanda menguasai wilayah Hindia Belanda (Indonesia) dan Afrika Selatan. EIC, milik Inggris menguasai India, Singapura, Australia dan wilayah-wilayah lainnya.
Pemerintah Belanda dan VOC, adalah pusat pelayaran dan perdagangan besar dunia, di kala itu. Pelabuhan-pelabuhannya demikian ramai. Belanda juga menjadi tempat suaka para bidah, para intelek yang mendahului zamannya, para pemikir bebas (freejdenker). Belanda di abad 17 menjadi naungan bagi filsuf besar Yahudi yakni Spinoza, matematikawan dan filsuf perintis Renaissance Eropa : Rene Descartes, pemikir politikus John Locke yang kelak mempengaruhi Paine, Hamilton, Franklin dan Jefferson. Ilmuwan ilmuwan alam dan para seniman turut memeriahkan kemegahan pencerahan dan kebebasan berpikir. Ada juga Leeuwenhoek si penemu mikroskop, Grotius penggagas teori hukum internasional, Snelius si penemu refraksi cahaya Huygens si astronom. Rembrant, Vermeer dan Frams Halls si seniman ulung. Di alun-alun kota Amsterdam terdapat patung atlas yang memanggul langit dengan aneka rasi bintang, sebagai lambang penjelajahan, eksplorasi dunia dan eksplorasi pengetahuan. Tak kurang orang seperti Huygens memiliki semboyan : dunia adalah negaraku, sains adalah agamaku.
Kafe-kafe, aula-aula, dan rumah-rumah para ilmuwan di kota-kota pelabuhan negeri Belanda demikian ramai dengan perdebatan dan diksusi perihal filsafat, sains, politik. Kemakmuran dari hasil mengeruk sumber daya alam negeri jajahan, membuat negeri Belanda cukup makmur dan leluasa mengembangkan kapasitas keilmuan dan kebudayaannya. Ironi memang. Sementara di belahan dunia lain, para pelaut dan tentara VOC dan pemerintah, menyerang, membungihanguskan, membangun benteng-benteng, demi mengeruk kekayaan alam wilayah-wilayah jajahan, terutama Hindia Belanda (Indonesia) lewat bendera perusahaan multinasional : VOC. Suatu ironi yang demikian kontras.
Ada fakta yang menarik. Masa di mana keriuhan zaman eksplorasi tersebut, dimanfaatkna beberapa ulama dan penyebar dakwah. Jika Vatikan di masa itu ada di belakang Portugis dan Spanyol, lewat Gold, Gospel dan Glory. “Keserakahan” yang dibungkus agama. Pada sisi lain, jalur dakwah Islam dibangun lewat transaksi perdagangan, lebih berdaya akulturasi dan asimilasi dengan budaya setempat. Di masa inilah, di Pulau Jawa kehadiran Wali Songo dengan cara, metode dan bagaimana mengembangkan dakwah budaya menjadi antitesa dari cara tak beradab kolonialisme. Para Wali Songo membangkitkan kembali khazanah lokal dengan semangat dan ajaran Islam, sebagai antitesa dari imaji-imaji yang dibangun sastra-sastra kolonialisme.
Ada sekian kekaryaan mereka, sastra, seni, budaya yang berupaya dan terang-terangan menentang cara kolonialisme. Pertarungan di area wacana merembet sampai wilayah politik. Para Wali Songo berada di belakang pendirian Demak, Cirebon, Banten, perebutan Sunda Kelapa, sampai pertarungan di Selat Malaka lewat Pangeran Sabrang Lor.
Kini, masa rempah-rempah sudah lewat. Tapi medan yang ditinggalkannya tetap ada. Jika dahulu, rempah menjadi komoditas rebutan karena kelangkaannya. Tentu saja, di sini kita mesti pandai mengidentifikasi komoditas yang menjadi punuk zamannya. Barang rebutan di zaman ini, “kayu manis” di era sekarang. Yang membuat semua konsep tentang yang “ideal” berputar di sekitarnya. Yang membuat pertarungan di era wacana, politik dan pertempuran riil masih tetap berlangsung. Jika dulu Gold, Gospel dan Glory adalah semangatnya. Mungkin saja sekarang tidak jauh berbeda, tapi dengan istilah yang bisa jadi sama : apakah HAM, demokratisasi, kebebasan individu? Mungkin saja.
Akan seperti apakah pertahanan budaya yang dibangun di zaman ini, jika seandainya sistem yang dibangun Wali Songo di masa lalukembali hadir di zaman ini? Sebuah pertanyaan menggelitik yang memaksa kita mau tidak mau menggali kembali khazanah lama para Wali Songo, sembari memetakan kutub-kutub yang menjadi ujung Utara-Selatannya dalam konstelasi apa dan siapa yang dilawannya. Mari kita terus belajar dan menggali. Mengenali aksentuasi dan tajali setiap zaman, memerangi thogut zaman dan thogut diri yang khas setiap era. Demi sebuah perjuangan yang hakiki: kemerdekaan untuk menggali, mengenali dan mengaktualisasi diri kita yang sejati, yang Ilahi, yang menjadi hak setiap insan.
Author Profile
Latest entries
- Lampah25/03/2024Tiga Serangkai Makassar
- Maos24/03/2024Sedulur Papat Kalima Pancer
- Uswah24/03/2024Sang Pangeran
- Maos24/03/2024Imaji Kayu Manis