Sedulur Papat Kalima Pancer

๐˜ˆ๐˜ฏ๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ช๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ณ๐˜ถ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ด๐˜ข ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ธ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ช
๐˜ต๐˜ฆ๐˜จ๐˜ถ๐˜ฉ ๐˜ข๐˜บ๐˜ถ ๐˜ญ๐˜ถ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ต๐˜ข ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ญ๐˜ข๐˜ณ๐˜ข,
๐˜ญ๐˜ถ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ต๐˜ข ๐˜ฃ๐˜ช๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ๐˜ช ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ฉ,
๐˜ซ๐˜ช๐˜ฎ ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ณ๐˜ถ๐˜ฏ,
๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ถ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข ๐˜ธ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ช,
๐˜ฎ๐˜ช๐˜ธ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜จ๐˜ข๐˜ธ๐˜ฆ ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข,
๐˜จ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ข ๐˜ฏ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ธ๐˜ฐ๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ญ๐˜ถ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ต,
๐˜จ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ช ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ต๐˜ช๐˜ณ๐˜ต๐˜ข,
๐˜ฎ๐˜ข๐˜ญ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ฐ๐˜ฉ ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ธ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ช ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ณ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ช,
๐˜ต๐˜ถ๐˜ซ๐˜ถ ๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ฌ ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ด๐˜ช๐˜ณ๐˜ฏ๐˜ข.

๐˜ˆ๐˜ฅ๐˜ข ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ซ๐˜ช๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ซ๐˜ข๐˜จ๐˜ข ๐˜ฅ๐˜ช ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜ฎ,
๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ถ๐˜ข๐˜ต ๐˜ฌ๐˜ช๐˜ต๐˜ข ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ข๐˜ต ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ซ๐˜ข๐˜ถ๐˜ฉ ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ณ๐˜ช ๐˜ด๐˜ฆ๐˜จ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ช๐˜ต,
๐˜ต๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ด ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ณ๐˜ช ๐˜ด๐˜ฆ๐˜จ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ณ๐˜ข ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ฉ๐˜ข๐˜บ๐˜ข,
๐˜ซ๐˜ช๐˜ฏ ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ต๐˜ช๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ช,
๐˜จ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ข-๐˜จ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ข ๐˜ข๐˜ต๐˜ข๐˜ถ ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ถ๐˜ฉ ๐˜ต๐˜ช๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฏ,
๐˜ซ๐˜ถ๐˜จ๐˜ข ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฃ๐˜ถ๐˜ข๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฃ๐˜ถ๐˜ณ๐˜ถ๐˜ฌ,
๐˜ฅ๐˜ข๐˜ณ๐˜ช ๐˜ฐ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ-๐˜ฐ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ซ๐˜ข๐˜ฉ๐˜ข๐˜ต,
๐˜ข๐˜ฑ๐˜ช ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ซ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ช ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ๐˜ช๐˜ฏ ๐˜ฃ๐˜ข๐˜จ๐˜ข๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ข๐˜ช๐˜ณ,
๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ค๐˜ถ๐˜ณ๐˜ช ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ซ๐˜ข๐˜ถ๐˜ฉ ๐˜ต๐˜ช๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ช ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ค๐˜ข๐˜ณ ๐˜ด๐˜ข๐˜บ๐˜ข,
๐˜ด๐˜ฆ๐˜จ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ณ๐˜ข ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ฉ๐˜ข๐˜บ๐˜ข ๐˜ด๐˜ช๐˜ณ๐˜ฏ๐˜ข.

Kidung Rumekso ing Wengi

Siang hari berganti malam. Gelap menggeser terang. Dari hiruk menjadi sunyi. Pada remang-remang momen pergantian waktu magrib, sosok Sanekala dihadirkan. Sosok setan penculik anak kecil yang berkeliaran pada wanci transisi. Lengkap sudah. Bagi saya pada masa kecil, malam adalah kondisi mencekam. Dan lebih kurang lima abad lampau, kondisi mencekam itu lebih kuat dan berasa nyata. Untuk itulah penjagaan dipanjatkan. Panjatan doa dilantunkan dengan irama dan metrum vokal baku yang berjuluk kidung.

Kidung Suluk Kawedar buah karya Sunan Kalijogo. Sebutan lainnya adalah Kidung Rumekso Ing Wengi dan diyakini ampuh untuk menjaga sekeluarga dari kejahatan di kala malam. Saya membayangkan, tiga hingga lima abad silam, para ibu dengan nada cemas menimang bayi dan menjaga anak. Malam gulita, rumah bambu yang rapuh, penerangan hampir tak ada, rasa cemas meraja, hewan-hewan buas berkeliaran, dan kejahatan orang-orang tak terduga datang. Sambil menimang bayi dan menidurkan anak, para ibu melantunkan kidung ini.

Berbeda dengan kakawin yang terangkai dari bahasa Jawa Kuno bermuatan sastra tinggi, formasi bahasa kidung adalah bahasa keseharian dengan bahasa jawa menengah. Agar pengetahuan yang terkandung di dalamnya bersenyawa dalam tindak dan laku sehari-hari, demikianlah tujuan utama kidung digubah. Kidung dinyanyikan tanpa ritual dan upacara. Ia dinyanyikan kapan saja, dan oleh siapa saja. Ia melekat dalam rutinitas: sambil menimang bayi, sembari mencangkul dan ngewuluku, atau sambil menunggu waktu di kala luang. Kidung pun bisa didendangkan dengan nada ringan.

Dulu, kidung demikian lekat dengan keseharian. Pada era kini, ia diubah petandanya. Dari syahdu dan hormat, menjadi horor dan kuno. Saya punya kegeraman tersendiri tatkala kidung Rumekso ing wengi dengan nada yang pelan dan syahdu ini diberi lekatan kebalikannya: sebagai pemanggil syetan. Kejadiannya saat booming film horror. Tembang Kidung Rumekso ing Wengi dibuat sebagai suara latar dengan nuansa hantu dan syetan.

Kidung Suluk Kawedar: kawedar memiliki makna mewedar, atau menggelar dan mewartakan. Kidung yang mewedarkan cara mendekatkan diri kepada Allah, serta mencari perlindungan dan keselamatan kepada-Nya. Kidung ini sering juga disebut Kidung Sarira Ayu, yang bermakna kidung doa agar diri sehat-wal-afiat. Tolak bala dengan laku dan jalan mengaitkan diri, memanunggalkan diri dengan yang lain. Kepada malaikat, kepada para rasul, Adam sebagai hati, Syits sebagai otak, Musa sebagai ucapan, Isa sebagai nafas, Yakub sebagai telinga, Yusuf sebagai rupa, Daud sebagai suara, Sulaiman sebagai kesaktian, Ibrahim sebagai nyawa, Idris sebagai rambut, Nuh di jantung, Yunus di otot dan Muhammad (saw) sebagai mata/penglihatan. Tak lupa, kepada para ahlul bait (sahabat dan keluarga Nabi) Patimah (Fatimah) putri Nabi Muhammad sebagai sumsum, Baginda Ngali (Ali) kulit, Abubakar darah, Ngumar (Umar) daging, dan Ngusman (Usman) sebagai tulangnya.

Mencari keselamatan adalah mencari wasilah, perantara dan keterkaitan antara satu dengan yang lain. Manusia diikat oleh sebuah hukum: kelebihan dan kekurangan. Ada takaran masing-masing yang harus diisi satu dengan yang lainnya. Wedaran Suluk Eyang kalijogo ini, secara benderang, berbicara tentang diri yang diikat dan terkait diri yang lain, saudara sekeliling: sedulur papat kalima pancer. Begitu lahir, kita terikat secara jasmani. Tanpa mereka, para saudara diri ini, kehidupan akan punah dan nafas hidup sang bayi merah tak pernah berdenyut. Begitu lahir, sang bayi merah sudah punya empat saudara yang sehidup senyawa : ari-ari (adi ari-ari), darah (getih), puser (tali plasenta), air ketuban (kakang kawah), dan diri jasmani.

๐˜ˆ๐˜ฏ๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ช๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฑ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ช,
๐˜ˆ๐˜ฎ๐˜ฐ๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ต๐˜ถ๐˜ธ๐˜ถ๐˜ฉ ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ธ๐˜ข๐˜ด๐˜ข๐˜ฏ๐˜ช๐˜ณ๐˜ข,
๐˜•๐˜จ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฏ ๐˜ด๐˜ข๐˜ฌ๐˜ค๐˜ช๐˜ฑ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜ฆ,
๐˜’๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ธ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข,
๐˜’๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ณ๐˜ถ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ด๐˜ข ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ธ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ช,
๐˜ˆ๐˜ฏ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ข๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฏ ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ฅ๐˜บ๐˜ข,
๐˜๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ธ๐˜ข๐˜ด๐˜ข๐˜ฏ๐˜ช๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ฏ,
๐˜ˆ๐˜ฅ๐˜ฉ๐˜ช ๐˜ข๐˜ณ๐˜ช-๐˜ข๐˜ณ๐˜ช,
๐˜’๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฎ๐˜ข๐˜บ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ช ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ถ ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ธ๐˜ข๐˜ด๐˜ข๐˜ฏ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ช,
๐˜ˆ๐˜ฏ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ข๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฏ ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ณ๐˜ข๐˜ฉ
๐˜—๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜จ๐˜ฆ๐˜ต๐˜ช๐˜ฉ ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ณ๐˜ข๐˜ช๐˜ฏ๐˜ข,
๐˜•๐˜จ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ธ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ช ๐˜ˆ๐˜ญ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฌ๐˜ถ๐˜ธ๐˜ข๐˜ด๐˜ข,
๐˜ˆ๐˜ฏ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ฆ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฏ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ด๐˜ข๐˜ฏ๐˜ฆ,
๐˜—๐˜ถ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ณ ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ธ๐˜ข๐˜ด๐˜ข๐˜ฏ๐˜ช๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ฏ,
๐˜•๐˜จ๐˜ถ๐˜บ๐˜ถ-๐˜ถ๐˜บ๐˜ถ ๐˜ด๐˜ข๐˜ฃ๐˜ข๐˜ธ๐˜ข ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ช,
๐˜•๐˜ถ๐˜ณ๐˜ถ๐˜ต๐˜ช ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ฆ๐˜ฅ๐˜ฉ๐˜ข
๐˜’๐˜ข๐˜ธ๐˜ข๐˜ด๐˜ข๐˜ฏ๐˜ช ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ถ,
๐˜‘๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ๐˜ด๐˜ถ๐˜ฏ ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข๐˜ต,
๐˜’๐˜ข๐˜ญ๐˜ช๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ฆ ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ค๐˜ฆ๐˜ณ ๐˜ธ๐˜ถ๐˜ด ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ช ๐˜ด๐˜ข๐˜ธ๐˜ช๐˜ซ๐˜ช,
๐˜›๐˜ถ๐˜ฏ๐˜จ๐˜จ๐˜ข๐˜ญ ๐˜ด๐˜ข๐˜ธ๐˜ถ๐˜ซ๐˜ถ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ธ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ.
๐˜š๐˜ฆ๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ญ๐˜ถ๐˜ณ ๐˜—๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข๐˜ต ๐˜’๐˜ข๐˜ญ๐˜ช๐˜ฎ๐˜ข ๐˜—๐˜ข๐˜ฏ๐˜ค๐˜ฆ๐˜ณ

Kidung Suluk Kawedar

Struktur satu pusat yang dilengkapi dengan elemen-elemen saudaranya, sedulur papat kalima pancer, adalah pola baku. Ia tergelar dalam struktur makrokosmos, mikrokosmos, serta lahir dan bathin. Fraktal, istilah saintifiknya. Hierarki dan struktur pusat yang diwedarkan dengan elemen saudaranya ini terbahasakan dalam ragam istilah. Juga variasi hitungan elemennya. Pola ini mulai dari diri jasad dalam bentuk jari jemari, lima indra (panca driya), konsep mandala di alam semesta, walisangga, rumusan Ibnu Arabi perihal satu quthb dan tujuh badal dalam hagiografi.

Juga bisa ditemukan dalam tata surya, matahari dan elemen planetnya, serta pandawa lima dalam dunia pewayangan, sebagai konfigurasi karakter utama manusia. Yudistira sebagai pusat yang dikelilingi oleh keempat saudaranya. Di sisi lain, Arjuna sebagai Pusat bagi Kerajaan Madukara yang dikelilingi oleh Sumbadra, Ulupi, Ratna Gandawati, Dewi Manohara, dan Srikandi. Pola-pola ini juga tergambarkan dalam ragam hias, konsep geoetri Islam dan pola batik sebagai buah karya Walisanga.

Pola posisi pusat dan elemennya bicara jamaah, nafsul wahidah, serta kebersatuan. Tak ada yang sendirian. Tak ada yang hanya menjadi pelengkap semata. Semua menjadi utama dalam posisi dan kadarnya sendiri. Masing-masing bermakmum, serta melengkapi dan mengikuti sebuah pusat. Dan dirinya pun menjadi pusat, imam terhadap yang lain. Seorang yang paling sudra pun, ia menjadi ayah (pusat) bagi keluarga batih-nya. Seorang istri pun menjadi pusat anak-anaknya. Bahkan, tanpa keluarga dan sanak, seorang manusia tetap harus menjadi pusat bagi elemen-elemen ragawinya, panca-driyanya. Aql-nya harus menjadi pancer, pusat kendali, semua kedirian ragawi, indra dan pikirannya. Malah โ€˜aql yang sehat ini, jauh lebih penting, sebelum formasi pancer-sedulur dalam formasi sosial.

Keselamatan ada pada jamaah, bukan pencilan dan ketersendirian. Ahlu Sunnah Wal jamaah, hemat saya, rumusan sejatinya jauh sekadar perkara Asy-ariyah, Maturidiyyah, atau sekadar masalah fiqih imam mazhab. Apalagi, jika hanya disempitkan menjadi organisasi semata. Karena, konsep Aswaja, utamanya, pada konteks jamaah-nya, kesisteman dharma, di mana Rasulullah terkait dengan keempat sahabat utamanya. Juga Rasulullah Saw sebagai salah satu batu-bata terhadap rangkaian utusan-Nya, para nabi dan rasul sebelumnya. Aswaja adalah pengakuan adanya sistem kejamaahan yang dibangun oleh konfigurasi Rasulullah Saw dan empat sahabat utamanya, dan juga para Nabi dan Rasul sebelumnya, serta para wali setelahnya.

Ini adalah rumusan krusial. Hingga hampir semua tradisi hikmah menempatkannya sebagai konsep utama dalam dunia pendidikan dan sosial-kemasyarakatan. Tujuan pendidikan, merujuk kepada rumusan tradisi hikmah, adalah pada sejauh mana kita bisa menemukan kesejatian diri, mengenal diri, mengenal ketepatan diri dalam penempatan terhadap keseluruhan.

Diri manusia berada di depan terhadap yang lain, juga berada di tengah terhadap yang lain, atau di belakang terhadap yang lain. Saat di tengah dan di belakang, ia tidak memaksakan diri untuk ke depan. Tatakala di depan, tak hendak surut ke belakang. Rumusan pendidikan ini dirangkum elok oleh ki Hajar dalam semboyan: Ing Ngarso Sung Tulodho Ing Madyo Mangun Karso Tut Wuri Handayani, di depan memberi teladan, di tengah membangun kemauan, di belakang memberi dorongan dan pengaruh yang baik.

Demikianlah, suluk Kidung Kawedar adalah wedaran perihal mendekatkan diri kepada-Nya dan mencari jalan keselamatan lewat jamaah, lewat jalan kasih-sayang. Keselamatan dari segala gangguan lahir dan bathin selama perjalanan raga maupun jiwa (suluk). Dari marabahaya luar dan dari dalam diri. Dengan jalan dan laku mengukur ketepatan diri: kita sebagai pusat (pancer) bagi sedulur kita. Dan kita juga menjadi elemen (sedulur), bermakmun terhadap pancer ([pusat). Suatu jalan yang mewajibkan pengendalian ego dan melapangkan Shudr. Itulah kesisteman dharma.***

Author Profile

Deden Himawan
Pengkaji Kebudayaan dan Khazanah Suluk Nusantara.

Eksplorasi konten lain dari Siloka.org

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

One thought on “Sedulur Papat Kalima Pancer

  • Kalau ditambahkan suara tembang, supaya bisa dipelajari. Kidung ini tembang apa? Dandanggula, Kinanti, Asmarandana, Megatruh, Pangkur, Sinom atau apa?

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Siloka.org

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca