๐๐ฏ๐ข ๐ฌ๐ช๐ฅ๐ถ๐ฏ๐จ ๐ณ๐ถ๐ฎ๐ฆ๐ฌ๐ด๐ข ๐ช๐ฏ๐จ ๐ธ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ช
๐ต๐ฆ๐จ๐ถ๐ฉ ๐ข๐บ๐ถ ๐ญ๐ถ๐ฑ๐ถ๐ต๐ข ๐ช๐ฏ๐จ ๐ญ๐ข๐ณ๐ข,
๐ญ๐ถ๐ฑ๐ถ๐ต๐ข ๐ฃ๐ช๐ญ๐ข๐ฉ๐ช ๐ฌ๐ข๐ฃ๐ฆ๐ฉ,
๐ซ๐ช๐ฎ ๐ด๐ฆ๐ต๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ข๐ต๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ถ๐ณ๐ถ๐ฏ,
๐ฑ๐ข๐ฏ๐ฆ๐ญ๐ถ๐ฉ๐ข๐ฏ ๐ต๐ข๐ฏ ๐ข๐ฏ๐ข ๐ธ๐ข๐ฏ๐ช,
๐ฎ๐ช๐ธ๐ข๐ฉ ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐จ๐จ๐ข๐ธ๐ฆ ๐ข๐ญ๐ข,
๐จ๐ถ๐ฏ๐ข ๐ฏ๐ช๐ฏ๐จ ๐ธ๐ฐ๐ฏ๐จ ๐ญ๐ถ๐ฑ๐ถ๐ต,
๐จ๐ฆ๐ฏ๐ช ๐ต๐ฆ๐ฎ๐ข๐ฉ๐ข๐ฏ ๐ต๐ช๐ณ๐ต๐ข,
๐ฎ๐ข๐ญ๐ช๐ฏ๐จ ๐ข๐ฅ๐ฐ๐ฉ ๐ต๐ข๐ฏ ๐ธ๐ข๐ฏ๐ช ๐ฏ๐จ๐ข๐ณ๐ข๐ฉ ๐ช๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ข๐ฎ๐ช,
๐ต๐ถ๐ซ๐ถ ๐ฅ๐ถ๐ฅ๐ถ๐ฌ ๐ฑ๐ข๐ฏ ๐ด๐ช๐ณ๐ฏ๐ข.๐๐ฅ๐ข ๐ต๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฑ๐ถ๐ซ๐ช๐ข๐ฏ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ซ๐ข๐จ๐ข ๐ฅ๐ช ๐ฌ๐ข๐ญ๐ข ๐ฎ๐ข๐ญ๐ข๐ฎ,
Kidung Rumekso ing Wengi
๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ข๐ต ๐ฌ๐ช๐ต๐ข ๐ด๐ฆ๐ญ๐ข๐ฎ๐ข๐ต ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ซ๐ข๐ถ๐ฉ ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช ๐ด๐ฆ๐จ๐ข๐ญ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐บ๐ข๐ฌ๐ช๐ต,
๐ต๐ฆ๐ณ๐ฃ๐ฆ๐ฃ๐ข๐ด ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช ๐ด๐ฆ๐จ๐ข๐ญ๐ข ๐ฎ๐ข๐ณ๐ข ๐ฃ๐ข๐ฉ๐ข๐บ๐ข,
๐ซ๐ช๐ฏ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ต๐ข๐ฏ ๐ต๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ข๐ฏ๐ช,
๐จ๐ถ๐ฏ๐ข-๐จ๐ถ๐ฏ๐ข ๐ข๐ต๐ข๐ถ ๐ต๐ฆ๐ญ๐ถ๐ฉ ๐ต๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฑ๐ข๐ฏ,
๐ซ๐ถ๐จ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ฃ๐ถ๐ข๐ต๐ข๐ฏ ๐ฃ๐ถ๐ณ๐ถ๐ฌ,
๐ฅ๐ข๐ณ๐ช ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ-๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ซ๐ข๐ฉ๐ข๐ต,
๐ข๐ฑ๐ช ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ซ๐ข๐ฅ๐ช ๐ฅ๐ช๐ฏ๐จ๐ช๐ฏ ๐ฃ๐ข๐จ๐ข๐ช๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ข๐ช๐ณ,
๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐ค๐ถ๐ณ๐ช ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ซ๐ข๐ถ๐ฉ ๐ต๐ช๐ข๐ฅ๐ข ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ข๐ฏ๐ช ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ช๐ฏ๐ค๐ข๐ณ ๐ด๐ข๐บ๐ข,
๐ด๐ฆ๐จ๐ข๐ญ๐ข ๐ฎ๐ข๐ณ๐ข ๐ฃ๐ข๐ฉ๐ข๐บ๐ข ๐ด๐ช๐ณ๐ฏ๐ข.
Siang hari berganti malam. Gelap menggeser terang. Dari hiruk menjadi sunyi. Pada remang-remang momen pergantian waktu magrib, sosok Sanekala dihadirkan. Sosok setan penculik anak kecil yang berkeliaran pada wanci transisi. Lengkap sudah. Bagi saya pada masa kecil, malam adalah kondisi mencekam. Dan lebih kurang lima abad lampau, kondisi mencekam itu lebih kuat dan berasa nyata. Untuk itulah penjagaan dipanjatkan. Panjatan doa dilantunkan dengan irama dan metrum vokal baku yang berjuluk kidung.
Kidung Suluk Kawedar buah karya Sunan Kalijogo. Sebutan lainnya adalah Kidung Rumekso Ing Wengi dan diyakini ampuh untuk menjaga sekeluarga dari kejahatan di kala malam. Saya membayangkan, tiga hingga lima abad silam, para ibu dengan nada cemas menimang bayi dan menjaga anak. Malam gulita, rumah bambu yang rapuh, penerangan hampir tak ada, rasa cemas meraja, hewan-hewan buas berkeliaran, dan kejahatan orang-orang tak terduga datang. Sambil menimang bayi dan menidurkan anak, para ibu melantunkan kidung ini.
Berbeda dengan kakawin yang terangkai dari bahasa Jawa Kuno bermuatan sastra tinggi, formasi bahasa kidung adalah bahasa keseharian dengan bahasa jawa menengah. Agar pengetahuan yang terkandung di dalamnya bersenyawa dalam tindak dan laku sehari-hari, demikianlah tujuan utama kidung digubah. Kidung dinyanyikan tanpa ritual dan upacara. Ia dinyanyikan kapan saja, dan oleh siapa saja. Ia melekat dalam rutinitas: sambil menimang bayi, sembari mencangkul dan ngewuluku, atau sambil menunggu waktu di kala luang. Kidung pun bisa didendangkan dengan nada ringan.
Dulu, kidung demikian lekat dengan keseharian. Pada era kini, ia diubah petandanya. Dari syahdu dan hormat, menjadi horor dan kuno. Saya punya kegeraman tersendiri tatkala kidung Rumekso ing wengi dengan nada yang pelan dan syahdu ini diberi lekatan kebalikannya: sebagai pemanggil syetan. Kejadiannya saat booming film horror. Tembang Kidung Rumekso ing Wengi dibuat sebagai suara latar dengan nuansa hantu dan syetan.
Kidung Suluk Kawedar: kawedar memiliki makna mewedar, atau menggelar dan mewartakan. Kidung yang mewedarkan cara mendekatkan diri kepada Allah, serta mencari perlindungan dan keselamatan kepada-Nya. Kidung ini sering juga disebut Kidung Sarira Ayu, yang bermakna kidung doa agar diri sehat-wal-afiat. Tolak bala dengan laku dan jalan mengaitkan diri, memanunggalkan diri dengan yang lain. Kepada malaikat, kepada para rasul, Adam sebagai hati, Syits sebagai otak, Musa sebagai ucapan, Isa sebagai nafas, Yakub sebagai telinga, Yusuf sebagai rupa, Daud sebagai suara, Sulaiman sebagai kesaktian, Ibrahim sebagai nyawa, Idris sebagai rambut, Nuh di jantung, Yunus di otot dan Muhammad (saw) sebagai mata/penglihatan. Tak lupa, kepada para ahlul bait (sahabat dan keluarga Nabi) Patimah (Fatimah) putri Nabi Muhammad sebagai sumsum, Baginda Ngali (Ali) kulit, Abubakar darah, Ngumar (Umar) daging, dan Ngusman (Usman) sebagai tulangnya.
Mencari keselamatan adalah mencari wasilah, perantara dan keterkaitan antara satu dengan yang lain. Manusia diikat oleh sebuah hukum: kelebihan dan kekurangan. Ada takaran masing-masing yang harus diisi satu dengan yang lainnya. Wedaran Suluk Eyang kalijogo ini, secara benderang, berbicara tentang diri yang diikat dan terkait diri yang lain, saudara sekeliling: sedulur papat kalima pancer. Begitu lahir, kita terikat secara jasmani. Tanpa mereka, para saudara diri ini, kehidupan akan punah dan nafas hidup sang bayi merah tak pernah berdenyut. Begitu lahir, sang bayi merah sudah punya empat saudara yang sehidup senyawa : ari-ari (adi ari-ari), darah (getih), puser (tali plasenta), air ketuban (kakang kawah), dan diri jasmani.
๐๐ฏ๐ข ๐ฌ๐ช๐ฅ๐ถ๐ฏ๐จ ๐ข๐ฌ๐ข๐ฅ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฑ๐ณ๐ฆ๐ฎ๐ข๐ฅ๐ช,
Kidung Suluk Kawedar
๐๐ฎ๐ฐ๐ฏ๐จ ๐ต๐ถ๐ธ๐ถ๐ฉ ๐ช๐ฏ๐จ ๐ฌ๐ข๐ธ๐ข๐ด๐ข๐ฏ๐ช๐ณ๐ข,
๐๐จ๐ข๐ฏ๐ข๐ฌ๐ข๐ฌ๐ฆ๐ฏ ๐ด๐ข๐ฌ๐ค๐ช๐ฑ๐ต๐ข๐ฏ๐ฆ,
๐๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฌ๐ข๐ธ๐ข๐ฉ ๐ฑ๐ถ๐ฏ๐ช๐ฌ๐ข,
๐๐ข๐ฏ๐จ ๐ณ๐ถ๐ฎ๐ฆ๐ฌ๐ด๐ข ๐ช๐ฏ๐จ ๐ธ๐ข๐ฌ ๐ฎ๐ข๐ฎ๐ช,
๐๐ฏ๐ฆ๐ฌ๐ข๐ข๐ฌ๐ฆ๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ฅ๐บ๐ข,
๐๐ฏ๐จ ๐ฌ๐ข๐ธ๐ข๐ด๐ข๐ฏ๐ช๐ฑ๐ถ๐ฏ,
๐๐ฅ๐ฉ๐ช ๐ข๐ณ๐ช-๐ข๐ณ๐ช,
๐๐ข๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ข๐บ๐ถ๐ฏ๐จ๐ช ๐ช๐ฏ๐จ ๐ญ๐ข๐ฌ๐ถ ๐ฌ๐ข๐ธ๐ข๐ด๐ข๐ฏ๐ฆ๐ฌ๐ช,
๐๐ฏ๐ฆ๐ฌ๐ข๐ข๐ฌ๐ฆ๐ฏ ๐ฑ๐ข๐ฏ๐จ๐ข๐ณ๐ข๐ฉ
๐๐ถ๐ฏ๐ข๐ฏ๐จ ๐จ๐ฆ๐ต๐ช๐ฉ ๐ช๐ฏ๐จ ๐ณ๐ข๐ช๐ฏ๐ข,
๐๐จ๐ณ๐ฆ๐ณ๐ฆ๐ธ๐ข๐ฏ๐จ๐ช ๐๐ญ๐ญ๐ข๐ฉ ๐ฌ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฌ๐ถ๐ธ๐ข๐ด๐ข,
๐๐ฏ๐ฅ๐ข๐ฅ๐ฆ๐ข๐ฌ๐ฆ๐ฏ ๐ฌ๐ฆ๐ณ๐ด๐ข๐ฏ๐ฆ,
๐๐ถ๐ด๐ฆ๐ณ ๐ฌ๐ข๐ธ๐ข๐ด๐ข๐ฏ๐ช๐ฑ๐ถ๐ฏ,
๐๐จ๐ถ๐บ๐ถ-๐ถ๐บ๐ถ ๐ด๐ข๐ฃ๐ข๐ธ๐ข ๐ฎ๐ข๐ฎ๐ช,
๐๐ถ๐ณ๐ถ๐ต๐ช ๐ช๐ฏ๐จ ๐ฑ๐ข๐ฏ๐ฆ๐ฅ๐ฉ๐ข
๐๐ข๐ธ๐ข๐ด๐ข๐ฏ๐ช ๐ณ๐ฆ๐ฌ๐ถ,
๐๐ข๐ฏ๐จ๐ฌ๐ฆ๐ฑ ๐ฌ๐ข๐ฅ๐ข๐ฏ๐จ๐ช๐ฏ๐จ๐ด๐ถ๐ฏ ๐ฑ๐ข๐ฑ๐ข๐ต,
๐๐ข๐ญ๐ช๐ฎ๐ข๐ฏ๐ฆ ๐ฑ๐ข๐ฏ๐ค๐ฆ๐ณ ๐ธ๐ถ๐ด ๐ฅ๐ข๐ฅ๐ช ๐ด๐ข๐ธ๐ช๐ซ๐ช,
๐๐ถ๐ฏ๐จ๐จ๐ข๐ญ ๐ด๐ข๐ธ๐ถ๐ซ๐ถ๐ฅ๐ช๐ฏ๐จ ๐ธ๐ข๐ฏ๐จ.
๐๐ฆ๐ฅ๐ถ๐ญ๐ถ๐ณ ๐๐ข๐ฑ๐ข๐ต ๐๐ข๐ญ๐ช๐ฎ๐ข ๐๐ข๐ฏ๐ค๐ฆ๐ณ
Struktur satu pusat yang dilengkapi dengan elemen-elemen saudaranya, sedulur papat kalima pancer, adalah pola baku. Ia tergelar dalam struktur makrokosmos, mikrokosmos, serta lahir dan bathin. Fraktal, istilah saintifiknya. Hierarki dan struktur pusat yang diwedarkan dengan elemen saudaranya ini terbahasakan dalam ragam istilah. Juga variasi hitungan elemennya. Pola ini mulai dari diri jasad dalam bentuk jari jemari, lima indra (panca driya), konsep mandala di alam semesta, walisangga, rumusan Ibnu Arabi perihal satu quthb dan tujuh badal dalam hagiografi.
Juga bisa ditemukan dalam tata surya, matahari dan elemen planetnya, serta pandawa lima dalam dunia pewayangan, sebagai konfigurasi karakter utama manusia. Yudistira sebagai pusat yang dikelilingi oleh keempat saudaranya. Di sisi lain, Arjuna sebagai Pusat bagi Kerajaan Madukara yang dikelilingi oleh Sumbadra, Ulupi, Ratna Gandawati, Dewi Manohara, dan Srikandi. Pola-pola ini juga tergambarkan dalam ragam hias, konsep geoetri Islam dan pola batik sebagai buah karya Walisanga.
Pola posisi pusat dan elemennya bicara jamaah, nafsul wahidah, serta kebersatuan. Tak ada yang sendirian. Tak ada yang hanya menjadi pelengkap semata. Semua menjadi utama dalam posisi dan kadarnya sendiri. Masing-masing bermakmum, serta melengkapi dan mengikuti sebuah pusat. Dan dirinya pun menjadi pusat, imam terhadap yang lain. Seorang yang paling sudra pun, ia menjadi ayah (pusat) bagi keluarga batih-nya. Seorang istri pun menjadi pusat anak-anaknya. Bahkan, tanpa keluarga dan sanak, seorang manusia tetap harus menjadi pusat bagi elemen-elemen ragawinya, panca-driyanya. Aql-nya harus menjadi pancer, pusat kendali, semua kedirian ragawi, indra dan pikirannya. Malah โaql yang sehat ini, jauh lebih penting, sebelum formasi pancer-sedulur dalam formasi sosial.
Keselamatan ada pada jamaah, bukan pencilan dan ketersendirian. Ahlu Sunnah Wal jamaah, hemat saya, rumusan sejatinya jauh sekadar perkara Asy-ariyah, Maturidiyyah, atau sekadar masalah fiqih imam mazhab. Apalagi, jika hanya disempitkan menjadi organisasi semata. Karena, konsep Aswaja, utamanya, pada konteks jamaah-nya, kesisteman dharma, di mana Rasulullah terkait dengan keempat sahabat utamanya. Juga Rasulullah Saw sebagai salah satu batu-bata terhadap rangkaian utusan-Nya, para nabi dan rasul sebelumnya. Aswaja adalah pengakuan adanya sistem kejamaahan yang dibangun oleh konfigurasi Rasulullah Saw dan empat sahabat utamanya, dan juga para Nabi dan Rasul sebelumnya, serta para wali setelahnya.
Ini adalah rumusan krusial. Hingga hampir semua tradisi hikmah menempatkannya sebagai konsep utama dalam dunia pendidikan dan sosial-kemasyarakatan. Tujuan pendidikan, merujuk kepada rumusan tradisi hikmah, adalah pada sejauh mana kita bisa menemukan kesejatian diri, mengenal diri, mengenal ketepatan diri dalam penempatan terhadap keseluruhan.
Diri manusia berada di depan terhadap yang lain, juga berada di tengah terhadap yang lain, atau di belakang terhadap yang lain. Saat di tengah dan di belakang, ia tidak memaksakan diri untuk ke depan. Tatakala di depan, tak hendak surut ke belakang. Rumusan pendidikan ini dirangkum elok oleh ki Hajar dalam semboyan: Ing Ngarso Sung Tulodho Ing Madyo Mangun Karso Tut Wuri Handayani, di depan memberi teladan, di tengah membangun kemauan, di belakang memberi dorongan dan pengaruh yang baik.
Demikianlah, suluk Kidung Kawedar adalah wedaran perihal mendekatkan diri kepada-Nya dan mencari jalan keselamatan lewat jamaah, lewat jalan kasih-sayang. Keselamatan dari segala gangguan lahir dan bathin selama perjalanan raga maupun jiwa (suluk). Dari marabahaya luar dan dari dalam diri. Dengan jalan dan laku mengukur ketepatan diri: kita sebagai pusat (pancer) bagi sedulur kita. Dan kita juga menjadi elemen (sedulur), bermakmun terhadap pancer ([pusat). Suatu jalan yang mewajibkan pengendalian ego dan melapangkan Shudr. Itulah kesisteman dharma.***
Author Profile
- Pengkaji Kebudayaan dan Khazanah Suluk Nusantara.
Latest entries
Lampah25/03/2024Tiga Serangkai Makassar
Maos24/03/2024Sedulur Papat Kalima Pancer
Uswah24/03/2024Sang Pangeran
Maos24/03/2024Imaji Kayu Manis
Eksplorasi konten lain dari Siloka.org
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
Kalau ditambahkan suara tembang, supaya bisa dipelajari. Kidung ini tembang apa? Dandanggula, Kinanti, Asmarandana, Megatruh, Pangkur, Sinom atau apa?