Kuasa dan kekuasaan; itulah inti politik. Karya politik paling klasik sampai termutakhir bicara di kisaran masalah ini. Ada sekian teori dan rumusan cara, struktur, mekanisme kekuasaan dijalankan. Bahkan perdebatan paling awal adalah mencari bentuk seperti apa mestinya kekuasaan diselenggarakan lewat institusi legal yang bernama negara atau polis. Ada yang merumuskan bentuk Teokrasi, Demokrasi, Aristokrasi, Tiran dan aneka bentuk pemerintahan dalam menjalankan kekuasaannya.
Hari itu, kisaran tahun 1660 an, tanah Jawa tersaput awan merah membara. Ketakutan dan kengerian merata terpancar di rona-rona rakyat Jawa. Hujan salah musim, bintang berekor tampak terlampau sering muncul di malam hari, abu merapi bertebaran membuat pekat siang hari. Gerhana rembulan dan matahari datang bergantian. Sebuah siloka buruk. Tertib kosmis banyak terlanggar. Begitulan babad Tanah Jawi berkisah seputar masa mataram di bawah Amangkurat I.
Masih di hari itu, 6000 an santri dan ulama Islam dikumpulkan di alun-alun Istana. Entah kemarahan apa yang membuat tangan sang Raja ini akan berlumuran darah. Dalam hitungan menit, 6000 an ulama, santri beserta keluarganya dibunuh. Tidak tanggung-tanggung, dengan cara disembelih. Jika rujukan kengerian sang tiran hanya berdasar Babad Tanah Jawi yang kontroversi, bolehlah kita meragukannya. Tapi ada sekian catatan sejarah yang membenarkan peristiwa ini, mulai dari catatan pejabat VOC, Rijklof van Goens, History of Jawa karya Raffles, sampai sejarawan Belanda paling awal, Van de Graaf membenarkan bagaimana kekejaman Amangkurat I ini.
Inilah kekuasaan dijalankan dalam bentuk kerajaan atau monarki. Tapi janganlah lupa, Mataram Islam dilekatkan dan disambungkan secara sejarah dan keabsahan kuasa dari Demak, negeri yang didirikan para Wali. Seolah ada legalitas Kuasa Allah pada diri sang raja yang sambung menyambung, sebentuk teokrasi. Bahkan gelarannya pun tak tanggung-tanggung, secara gamblang menyebut Raja adalah wakil Allah, Khalifatullah yang mengatur dan memiliki semesta. Amangkurat secara harfiah berasal dari Amangku yag berarti memangku, menyanggah, dan rat berarti bumi. Ini adalah gelar bagi sang Pemangku Bumi, wakil Allah.
Apa landasan seseorang menyebut wakil Tuhan dan memiliki kuasa hampir tak terbatas menentukan jalannya nasib sebuah negeri; berikut nyawa orang-orang di dalamnya. Begitulan tanya yang diarahkan kepada sistem Teokrasi. Juga terhadap sistem monarki; apakah kecakapan dan keadilan bisa diturunkan secara turun temurun? Seorang ayah bisa jadi seorang bijak bestari seperti halnya Sultan Agung, tapi tidak anaknya, Amangkurat I, yang menjadi seorang maniak pembunuh. Bahkan demokrasi pun, bisa terjatuh ke dalam mobokrasi, kehirup pikukan dan politik rendahan para jelata. Rakyat yang ditekan kebutuhan mendesak akan besok makan apa, menjadi tak punya nalar yang penuh, pertimbangan yang logis dalam memutuskan. Ia dipengaruhi naluri instingtif berjangka pendek yang terbaca secara artifisial lewat sosial media hasil bentukan para buzzer dan bigot, hasil penglihatan sesaat di papan-papan dan baliho besar.
Aristokrasi malah pernah memakan anaknya sendiri, yakni kisah kematian Socrates yang ditentukan kematiannya oleh segelintir orang-orang yang sakit hati atas sengatan si Lebah Athena ini. Lantas, sistem seperti apakah yang tepat? Jika kekuasaan begitu rentan dijauhkan dari keadabaan dan keadilan.
Bukankan begitu banyak panduan tentang keadilan dan keadaban yang dibuat untuk para pemegang kuasa?
Politik, betul memang bicara kuasa. Tapi terlampau sempit seandainya politik hanya dibatasi bagaimana berkuasa dan mempertahankannya, serta hanya bagaimana bentuk ideal penyelenggaraan kekuasaan dijalankan.
Objek dan subjek politik adalah manusia. Meneliti kekuasaan sebuah negeri, pastinya wajib meneliti bagaimana kuasa dari seorang manusia. Ini yang terlupakan. Bahwa cara pandang tehadap hakikat manusia, adalah andil paling besar bagaimana politik dbangun.
Kuasa adalah qudroh dalam bahasa Arab. Ia adalah juga kodrat, kodrat diri. Ia juga terkait qadar, kadar manusia. Secara etimilogis saja sudah menunjukkan suatu hal.
Filsafat tradisionalis, akan selalu merujuk kepada Wujud (The One, Being) yang beratribut : Maha Indah, Maha Benar dan Maha Baik. Inilah dasar terminilogi filsafat perihal estetik, logik dan etik, yakni bagaimana manusia bisa menghendaki kebaikan, mengetahui kebenaran dan mencintai keindahan. Kebenaran (ἀληθές alethes, al-haqq), Kebaikan (ἀγαθόν, agathon, al-birr) dan Keindahan (καλόν, kalon, al jaamil) menjadi fundasi kebajikan sistem metafisika dan teologi berbagai agama. Turunan dan penjelasannya lewat kitab Suci dan buku-buku hikmah sejatinya mengulas agar manusia tidak salah mengenali dan mengetahui Wujud, memiliki kebaikan etik yang tersambung secara metafisika dan memiliki kecintaan yang tinggi akan keindahan.
Lantas dimana letak kuasa dalam sistem filsafat tradisional ini?
Ada cetakan sempurna dan paripurna, bagaimana manusia mesti bersikap, secara lahir dan bathin. Setiap kitab hikmah selalu bicara perihal ini. Cetakan ini memiliki dua implikasi, keparipurnaan sikap lahir bathin sekaigus kapasitas optimal, kadar setiap manusia dalam mengimitasikan dirinya. Politeia, salah satu kitab klasik rujukan ilmu politik, bahkan secara lugas bicara, bahwa apa yang manifestasi dalam struktur negara, sejatinya adalah struktur insan, penyelenggaraan kuasa Ilahi dalam diri manusia. Kuasa ilahi ini melekat dalam lokus yang dinamakan intelek, logos. Filsafat tradisi hikmah ini seringkali disebut logosentris, karena bicara aspek Ilahi, dimana Wujud mengatur kerajaan lahir bathin manusia lewat logos ini. Penamaan logos disetiap tradisi tentunya berbeda-beda, tapi intinya ada aspek kedirian manusia yang menjadi lokus manifestasi Ilahi, manifestasi kuasa Ilahi di muka bumi.
Bagaimana manusia secara struktur, bagaimana tujuan kehidupan, bagaimana mengenali Wujud adalah konetks-konteks yang sering dilepaskan dalam politik dan kekuasaan. Seolah politik itu suatu keilmuan yang berdiri sendiri, lepas dari fundamen dasarnya.
Begitulah dengan menggali kitab-kitab politik tradisional, kita menjadi paham, bahwa konsep manusia adalah yang paling pokok. Bagaimana keutamaan manusia terbuka dan termanifestasikan dalam kebenaran metafisika, keberadaban perilaku yang etis, dan keindahan akhlaq, tutur dan proses kreatif. Itulah intinya, persoalan bentuk bisa jadi berubah sesuai konteks dan semangat zaman.
Author Profile
Latest entries
- Lampah25/03/2024Tiga Serangkai Makassar
- Maos24/03/2024Sedulur Papat Kalima Pancer
- Uswah24/03/2024Sang Pangeran
- Maos24/03/2024Imaji Kayu Manis